Jakarta (ANTARA) - Pemerintah bersama Uni Eropa (UE) mendorong percepatan penerapan praktik budi daya beras rendah karbon untuk meningkatkan efisiensi produksi dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Denis Chaibi di Jakarta, Senin, mengatakan penguatan koperasi menjadi elemen penting dalam menekan biaya produksi sekaligus memperkuat posisi tawar petani di rantai nilai pangan.
“Koperasi memberi petani posisi tawar lebih kuat karena mereka bisa membeli benih, mengatur asuransi, dan menekan biaya secara kolektif,” kata Chaibi dalam International Sustainable Rice Forum (ISRF) 2025.
Chaibi mengatakan dukungan terhadap penguatan koperasi dan teknologi rendah karbon merupakan langkah strategis untuk membantu Indonesia mencapai swasembada pangan dan mempersiapkan kebutuhan konsumsi yang meningkat pada 2026.
Ia menilai produksi beras rendah karbon dapat semakin berkembang jika petani memiliki skala usaha yang memadai. Hal itu memungkinkan efisiensi penggunaan air, pupuk, hingga pengelolaan teknologi budi daya yang lebih modern.
UE sebelumnya mendanai Low Carbon Rice Project (proyek beras rendah karbon) selama empat tahun, yang menghasilkan peningkatan produktivitas dan efisiensi di tingkat petani maupun penggilingan, katanya menjelaskan. Dirinya menambahkan bahwa model tersebut dapat diperluas melalui kemitraan lanjutan.
Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso juga mengatakan penerapan praktik rendah karbon tidak menambah beban biaya, justru menghasilkan efisiensi di lapangan.
Menurut dia, pengaturan air berselang dan penggunaan pupuk secara rasional mampu menekan pemborosan tanpa menurunkan produktivitas.
“Dengan pendampingan, petani bisa lebih efisien. Penggunaan air berlebih dan pupuk yang tidak sesuai kebutuhan dapat dikurangi, dan hasilnya produktivitas tetap naik,” katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa penggilingan padi yang beralih dari mesin diesel ke listrik mencatat efisiensi biaya hingga 40 persen. Teknologi tersebut juga berdampak pada penurunan emisi karbon sekitar 15 persen.
Menurut Sutarto, mayoritas petani merespons positif program pendampingan, terutama pada praktik pengairan berselang (AWD) dan pengurangan pupuk kimia berlebih.
Ia mengatakan perubahan perilaku itu memiliki dampak signifikan terhadap kesuburan tanah dan pengurangan emisi.
Berdasarkan laporan Low Carbon Rice Project 2025, inisiatif itu telah mendukung 67 penggilingan padi kecil beralih dari bahan bakar diesel ke listrik serta membangun kemitraan dengan lebih dari 2.650 petani di area 1.037 hektare menuju produksi beras berkelanjutan.
Proyek tersebut merupakan inisiatif yang didanai Uni Eropa melalui SWITCH-Asia Grants Programme dan diimplementasikan oleh Preferred by Nature bersama Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan Perpadi.
Program yang berlangsung hingga akhir 2025 itu mendukung transisi menuju produksi beras berkelanjutan dengan melibatkan petani, penggilingan padi, pemerintah, dan sektor swasta.
Pada acara yang sama, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menegaskan bahwa peningkatan efisiensi dan inovasi produksi beras rendah karbon sejalan dengan agenda pemerintah untuk memperkuat kedaulatan pangan dan memenuhi kebutuhan konsumsi nasional.
Zulhas menyebut produksi beras nasional diperkirakan mencapai 34,77 juta ton pada tahun ini, sementara impor berhenti karena stok dalam negeri mencukupi.
“Kedaulatan pangan tidak boleh ditawar. Berapa pun ongkosnya, kita harus lakukan,” katanya.
Pewarta: Aria Ananda
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































