Jakarta (ANTARA) - Industri modul surya di Indonesia dinilai perlu mendapatkan insentif, khususnya terkait pembebasan bea masuk bahan baku pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), guna mendorong pertumbuhan industri domestik sekaligus meningkatkan permintaan dalam negeri.
Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan Institute for Essential Services Reform (IESR), Alvin Putra, menyatakan saat ini sudah ada insentif pajak bagi industri yang berinvestasi di kawasan industri atau kawasan ekonomi khusus. Namun, insentif tersebut belum mencakup pembebasan bea masuk untuk impor bahan baku.
“Padahal, 50 sampai 60 persen dari total biaya produksi industri modul surya adalah untuk mengimpor bahan baku,” kata Alvin dalam media briefing di Jakarta, Selasa.
Menurut Alvin, harga modul surya lokal saat ini relatif lebih mahal, sekitar 30-40 persen, dibandingkan produk impor. Kondisi ini membuat penyerapan kapasitas produksi yang sudah mencapai 11,7 GWp per tahun masih perlu ditingkatkan.
Untuk mengatasi kesenjangan harga ini, pemberian insentif seperti pembebasan bea masuk bahan baku dinilai sangat dibutuhkan.
Alvin menambahkan, untuk memastikan keberlanjutan investasi pada rantai pasok, pemerintah harus menjamin adanya permintaan yang konsisten dari dalam negeri, terutama melalui proyek PLTS skala utilitas.
"Pemerintah perlu menyiapkan strategi agar aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tetap mampu menarik investasi sambil tetap melindungi industri lokal," ucapnya.
Alvin juga menyoroti kondisi industri sel surya di dalam negeri. Meskipun beberapa pabrik telah dibangun, sebagian besar produksinya masih berorientasi ekspor karena harga jual di pasar internasional lebih tinggi.
Akibatnya, pasar domestik untuk sel surya menjadi terbatas karena industri modul surya masih belum berkembang pesat. Menurutnya, kondisi industri modul surya di Indonesia masih rentan, antara berpotensi maju pesat atau justru terhambat.
Pada kesempatan yang sama, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, Marlistya Citraningrum, menyampaikan pemanfaatan PLTS di Indonesia berkembang dengan pola berbeda pada setiap skala, mulai dari elektrifikasi desa, kebutuhan industri, hingga pembangkit skala utilitas.
Meski demikian, tantangan yang dihadapi relatif serupa, yakni regulasi yang kerap berubah, keterbatasan skema pembiayaan, serta rantai pasok domestik yang masih lemah.
Ia memaparkan dalam lima tahun terakhir, Indonesia sebenarnya mulai menunjukkan momentum pengembangan PLTS. Indonesia baru memiliki regulasi khusus PLTS atap pada 2018, yang mendorong adopsi relatif cepat terutama di sektor industri dengan kapasitas mencapai puluhan MW per lokasi. Hingga Mei 2025, kapasitas terpasang PLTS nasional akhirnya berhasil melampaui 1.000 MW.
Sementara itu, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, menjelaskan pemerintah sedang menyusun regulasi pendukung pengembangan energi terbarukan di Indonesia, termasuk revisi Perpres Nomor 112 Tahun 2022 dan Peraturan Menteri ESDM tentang PLTS Operasi Paralel.
Andriah juga mendorong partisipasi pemerintah daerah dalam pengembangan energi terbarukan di antaranya dengan menyelaraskan tata ruang wilayah untuk mendukung investasi PLTS, menjadi mediator dalam isu pembebasan lahan, mengalokasikan APBD untuk proyek PLTS di bangunan pemerintah dan publik, serta memberikan insentif untuk pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan.
Baca juga: IESR paparkan tantangan utama proyek PLTS skala besar
Baca juga: IESR usulkan pengelolaan mandiri untuk proyek PLTS 100 GW di desa
Baca juga: Pemanfaatan PLTS atap capai 538 Mwp per Juli 2025
Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.