Hari santri dan akar tradisi nusantara

4 days ago 6
Peringatan Hari Santri, dengan demikian, dapat dimaknai bukan sekadar penghormatan kepada para pejuang Islam yang ikut mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga sebagai pengakuan terhadap kearifan lokal yang menjadi fondasi kebudayaan bangsa.

Jakarta (ANTARA) - Hari ini, 22 Oktober 2025, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri. Tanggal ini dipilih bukan tanpa alasan.

Pada 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad yang menegaskan bahwa membela bangsa dan tanah air adalah ekspresi dari iman.

Resolusi jihad bukan hanya panggilan politik, tetapi seruan moral dan spiritual bagi umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan dan wilayah Republik Indonesia yang baru seumur jagung.

Sejarah mencatat dari resolusi itulah muncul semangat heroik para santri dan pejuang Surabaya yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan setiap 10 November.

Dalam makna sempit, santri sering dimaknai sebagai orang yang menuntut ilmu agama di pesantren, berguru pada kyai, baik dengan cara menetap (santri mukim) maupun yang tidak menetap (santri kalong).

Dalam makna sedang, santri juga mencakup mereka yang belajar agama di madrasah, mushalla, atau masjid.

Namun dalam makna yang lebih luas, santri dapat merujuk pada siapa pun yang menuntut ilmu agama dan berusaha mengamalkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.

Tak heran jika di berbagai daerah, terutama di Jawa Barat, setiap tanggal 22 setiap bulan, para siswa dan guru sekolah negeri, serta Aparatur Sipil Negara (ASN), mengenakan atribut khas santri yakni sarung, kopiah, dan baju koko. Baju koko bahkan berasal dari busana Tionghoa.

Tradisi ini menjadi simbol kebanggaan bahwa nilai-nilai kesederhanaan, kesantunan, dan keikhlasan para santri adalah bagian tak terpisahkan dari jati diri bangsa.

Namun, yang menarik, istilah “santri” sesungguhnya tidak lahir dalam ruang kosong sejarah. Kata ini berakar dari tradisi panjang pendidikan di Nusantara, bahkan sebelum Islam datang.

Sejumlah ahli seperti Nurcholis Madjid mengatakan istilah “santri” berasal dari kata sastri dalam bahasa Sanskerta, yang berarti “orang yang melek huruf” atau “cendekia”.

Ada pula yang mengaitkannya dengan kata cantrik, yaitu murid yang tinggal dan belajar kepada seorang empu di padepokan.

Dengan demikian, sistem pendidikan pesantren sebenarnya merupakan kelanjutan dan transformasi dari sistem pendidikan tradisional yang telah lama hidup di bumi Nusantara.

Dari sini, terlihat bahwa pesantren bukanlah entitas asing yang tiba-tiba hadir bersama Islam. Ia adalah hasil akulturasi antara ajaran Islam dan tradisi lokal yang telah mapan.

Baca juga: Santri dan sastra

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |