Teknologi, etika, dan masa depan industri fashion Indonesia

4 hours ago 2
Sebuah gaun indah yang dibuat dari proses yang mencemari lingkungan atau menindas tenaga kerja, kini justru menjadi tanda zaman yang usang.

Jakarta (ANTARA) - Dalam lintasan sejarah industri fashion, ada satu hal yang tak pernah berubah yakni daya dorongnya terhadap ekspresi dan perubahan.

Namun kini, arah perubahan itu tidak lagi sekadar berbicara tentang gaya atau tren, melainkan tentang bagaimana industri ini mampu menanggapi tantangan zaman, mulai dari krisis iklim, ketimpangan ekonomi, hingga disrupsi teknologi yang mengubah seluruh rantai nilai produksi.

Momentum ini tampak jelas dalam berbagai upaya pelaku industri untuk menata ulang paradigma fashion menjadi lebih bertanggung jawab, efisien, dan adaptif.

Bali Fashion Network (BFN) 2026 yang digelar di Bali belum lama ini menjadi salah satu simbol dari pergeseran paradigma tersebut.

Di ajang yang menjadi ruang dialog dan kolaborasi antara inovator teknologi dengan pelaku bisnis kreatif itu, tergambar bagaimana industri fashion di Indonesia mulai menempatkan teknologi dan keberlanjutan sebagai fondasi baru dalam proses kreatif dan bisnis. Ini adalah arah yang menantang, sekaligus penuh harapan.

Selama ini, fashion sering dipandang dari permukaan seperti warna, potongan, dan gaya hidup yang dikonstruksi oleh citra. Padahal, di balik setiap kain yang indah, ada rantai panjang produksi yang melibatkan petani serat, pekerja garmen, pengrajin, hingga sistem logistik yang kompleks.

Banyak dari rantai itu masih menyisakan jejak karbon, limbah tekstil, dan ketimpangan sosial yang tinggi. Oleh karena itu, peralihan menuju sistem produksi yang lebih cerdas dan berkelanjutan bukan sekadar tren, tetapi keniscayaan.

Ketika BFN 2026 menampilkan serat berbasis bio dari Lenzing (Austria) dan Sorona (Amerika Serikat), material biodegradable dari Greenhope (Indonesia), serta teknologi digital printing. yang mendukung efisiensi energi dan pengurangan limbah tekstil, sesungguhnya yang sedang diuji bukan hanya kemampuan teknis, melainkan kesadaran etis industri terhadap bumi dan manusia.

Keseluruhan inisiatif memperlihatkan bagaimana kolaborasi lintas sektor dapat menciptakan rantai produksi fashion yang lebih cerdas, ramah lingkungan, dan berdaya saing global.

Merefleksikan kesadaran bahwa mode di masa depan tidak lagi diukur dari seberapa cepat koleksi berganti di etalase, tetapi seberapa dalam ia memahami tanggung jawabnya terhadap kehidupan.

Chris Rianto, Founder dan CEO Paramatex yang juga inisiator acara ini, menyatakan bahwa masa depan fashion Indonesia tidak akan ditentukan hanya oleh desain, tetapi juga oleh teknologi dan material.

Kalimat ini merefleksikan kesadaran baru bahwa estetika tidak bisa dipisahkan dari etika produksi. Sebuah gaun indah yang dibuat dari proses yang mencemari lingkungan atau menindas tenaga kerja, kini justru menjadi tanda zaman yang usang.

Baca juga: Perancang di Bali Fashion Trend daur ulang pakaian jadi aksesoris

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |