Jakarta (ANTARA) - Rekreasi, sejatinya adalah ruang jeda—cara manusia merawat jiwa dari tumpukan beban dan rutinitas. Kini, jeda itu berubah menjadi ritual perjalanan demi mengumpulkan validasi.
Di tengah fenomena ini, Kementerian Pariwisata tentu menangguk berkah dari ramainya wisatawan. Hanya saja, jangan sampai Kementerian Kesehatan ikut-ikutan "panen"…, tapi pasien jiwa.
Di atas kertas, rekreasi masih dipahami sebagai jeda: ruang bernapas di antara tuntutan hidup yang semakin rapat. Manusia berlibur untuk melepas, bukan untuk menambah beban.
Namun dalam kenyataannya, jeda itu pelan-pelan berubah menjadi semacam upacara modern—sebuah ritual perjalanan yang kini tak lagi ditujukan untuk diri sendiri, melainkan untuk khalayak yang bahkan tak kita kenal.
Dulu, orang pergi ke pantai untuk mendengar debur ombak, menenangkan kepala, atau sekadar membiarkan kaki tenggelam sebentar di pasir. Kini, agenda utama sering bergeser: memastikan kamera menangkap sudut terbaik, sebelum mata sempat menikmati pemandangan itu sendiri.
Rekreasi seolah menjadi transaksi: kita menukar waktu libur dengan satu set visual yang—kalau beruntung—bisa mendapatkan “persetujuan sosial”.
Tak heran jika objek wisata tumbuh seperti studio foto terbuka. Kementerian Pariwisata boleh saja bersyukur karena angka kunjungan meningkat; industri konten juga ikut menangguk keuntungan.
Tetapi, di balik semua itu, ada kegelisahan yang tak kasatmata: seberapa banyak energi mental yang habis untuk memastikan liburan terlihat menyenangkan, alih-alih benar-benar terasa menyenangkan.
Ketika liburan yang semestinya menyembuhkan justru menambah tekanan—dari kecemasan tampil buruk di foto, hingga rasa bersalah karena liburan “tidak seestetik orang lain”. Beban mental yang tidak disadari itu makin menumpuk.
Bukan mustahil, suatu hari nanti Kementerian Kesehatan akan menghadapi panen pasien yang kelelahan secara emosional, korban dari tren rekreasi yang lebih menuntut performa dibanding pemulihan.
Demi validasi
Jika dulu orang berlibur untuk mengambil jarak dari rutinitas, kini justru rutinitas baru yang tercipta: memastikan setiap detik liburan tampil sempurna di kamera.
Ada yang sibuk mengatur rambut sebelum angin laut mengacaknya, ada yang mengulang langkah tiga kali demi rekaman slow-motion yang “lebih halus”, atau menunda sarapan karena pencahayaan untuk foto makanan “belum ideal”. Rasanya, liburan itu hanya sah jika ada bukti visual yang bisa dipamerkan.
Sosiolog Amerika kelahiran Kanada Erving Goffman, yang terkenal dengan teori dramaturgi, rupanya masih relevan dikaitkan dengan fenomena kebaruan. Menurutnya, manusia kerap mengatur kesan yang ingin ditampilkan, seolah sedang berada di panggung.
Dalam konteks liburan masa kini, panggung itu bernama kamera ponsel.
Ilustrasi - Mengabadikan aktivitas wisata dengan kamera ponsel. ANTARA/SizukaSementara, sosiolog Inggris John Richard Urry menyebutnya sebagai tourist gaze—pandangan wisatawan yang terfokus pada apa yang layak direkam kameranya untuk dibagikan.
Nyatanya, performa di depan kamera menjadi agenda utama. Kita berdiri di tebing, tapi bukannya menikmati laut yang birunya memukau, justru sibuk mengecek apakah garis horizon sudah simetris.
Kita masuk ke kafe unik, tapi alih-alih merasakan atmosfernya, kita lebih cemas pada warna kursinya, apakah cocok dengan setelan pakaian hari itu. Objek wisata yang tadinya ingin kita nikmati, perlahan turun derajat menjadi latar belakang semata.
Hal yang ironis, obsesi mengabadikan momen sering kali membuat momennya sendiri hilang. Kita datang ke air terjun, tapi tidak benar-benar melihat air mengalir—konsentrasi kita tersedot pada aplikasi kamera.
Kita mengunjungi desa budaya, tapi tidak sempat mengenal kehidupan masyarakatnya, karena terlalu sibuk mencari titik foto yang “paling Instagrammable”.
Liburan pun bergeser menjadi pekerjaan tambahan: menjadi model, kameramen, sekaligus editor konten bagi diri sendiri.
Dan inilah bagian paling lucu, sekaligus melelahkan: validasi sosial yang dikejar itu tidak pernah selesai.
Setelah foto diunggah, masih ada tugas lanjutan—menunggu komentar, menghitung jumlah suka (like), memantau siapa yang melihat. Kita seperti meminjam harga diri dari reaksi orang lain. Momen yang seharusnya menjadi perjalanan batin, berubah menjadi perlombaan impresi.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































