Jakarta (ANTARA) - Bagi negara berkembang seperti Indonesia, menjalankan program transisi energi tidaklah mudah, yakni konversi energi berbahan baku fosil dengan energi baru terbarukan (EBT). Mengingat diperlukan dana besar (bahkan “jumbo”) untuk proses transisi energi.
Dalam kajian BKF (Badan Kebijakan Fiskal) Kementerian Keuangan, kemampuan negara dalam pendanaan mitigasi perubahan iklim, salah satunya melalui transisi energi, masih sangat terbatas, hanya sekitar 34 persen dari yang seharusnya dibutuhkan, oleh karena itu pemerintah mengundang investasi global.
Tekad Indonesia untuk mempercepat transisi energi dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, sehingga berhasil menarik banyak pihak untuk berinvestasi.
Selain megundang investor, pemerintah juga telah membentuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang pada tahap awal ini fokus mendanai proyek-proyek strategis, salah satunya adalah pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Kehadiran Danantara diproyeksikan mampu mempercepat pengembangan proyek-proyek energi hijau di Indonesia.
Dengan dana jumbo, Danantara bakal leluasa menyalurkan dana maupun membangun skema investasi guna mempercepat proyek EBT.
Lewat kehadiran Danantara, pemerintah bisa menghadirkan beragam investasi untuk menyokong proyek transisi energi seperti perluasan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Saat peresmian Danantara, Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan, bahwa Danantara akan fokus menyasar 20 proyek nasional, salah satunya energi baru terbarukan (EBT).
"Ini lah sektor yang akan menentukan masa depan kita, kesejahteraan kita, dan kemandirian bangasa kita," ujar Presiden Prabowo saat itu.
Peran strategis Danantara
Pada awal Agustus 2025, Danantara mengambil inisiatif, mendorong sinergi antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan PT Pertamina (Persero) terkait Kerja Sama Pengembangan Energi Panas Bumi untuk Pembangkit Listrik.
Memprakarsai sinergi antara dua entitas sektor energi tersebut, salah satu dari peran strategis Danantara, dalam mendorong pengembangan EBT, yang salah satunya adalah panas bumi (geothermal).
Kerja sama antara PLN dan Pertamina sangat penting, mengingat karakteristik pengembangan dan pengusahaan industri panas bumi.
Kerja sama tersebut juga penting dan sangat relevan dalam mendukung pencapaian target EBT dalam bauran energi nasional.
Dengan sinergi kedua BUMN yang telah tertuang dalam MoU tersebut, potensi untuk dapat melakukan akselerasi dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi nasional semakin terbuka. Sehingga target peningkatan EBT dalam bauran energi nasional semakin mudah untuk dapat dicapai.
Danantara akan mengandalkan ekosistem yang ada di PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) untuk mencapai target pemerintah terkait penggunaan energi terbarukan.
Faktor penting dalam penyusunan investasi transisi energi adalah peningkatan dan pengembangan kemampuan teknis serta penggunaan teknologi terkini.
Apalagi, di beberapa pembangkit berbasis energi terbarukan, penggunaan teknologi sudah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Kemudian baru-baru ini Danantara kembali mengambil inisiatif, dengan mengundang para pengusaha papan atas dalam peluncuran Patriot Bonds atau Obligasi Patriotik.
Lewat obligasi ini Danantara bakal menghimpun dana 3,1 miliar dolar AS atau setara Rp 50 triliun, yangakan dialokasikan untuk beberapa proyek strategis salah satunya proyek waste management (konversi sampah menjadi energi hijau).
Pemerintah melalui Danantara menjelaskan tujuan penghimpunan dana dari para pengusaha. Danantara menghimpun dana untuk membiayai sejumlah proyek waste to energy yang tersebar di berbagai lokasi di Indonesia.
Dalam upaya akselerasi transisi energi itulah, Danantara meluncurkan pelantar Patriot Bonds, dengan mengundang partisipasi para pemimpin bisnis (korporasi) untuk mengumpulkan sumber daya bagi proyek-proyek jangka panjang dan berdampak tinggi di sektor energi terbarukan.
Memperkuat skema pendanaan
Meski telah ada Danantara, upaya penggalangan dana untuk mendukung program transisi energi masih harus dilanjutkan.
Salah satu komitmen yang sudah diperoleh adalah kolaborasi Friend of Indonesia-Renewable Energy (FIRE), yang dirilis di tengah perhelatan COP 26 (Konferensi Iklim) di Glasgow tahun 2021.
Sejumlah negara seperti Jerman, Inggris Raya, dan Denmark, menyatakan komitmennya untuk terlibat.
Dubes Denmark untuk Indonesia Lars Bo Larsen menyatakan, Denmark siap berkontribusi pada tahun 2023, dengan menyiapkan dana hibah global bagi aksi iklim sekitar 500 juta dolar AS per tahun, dimana Indonesia masuk dalam skema pendanaan global ini.
FIRE menjadi pelantar baru untuk menghimpun bantuan internasional dalam mengakselerasi transisi energi.
Program FIRE sendiri merupakan bentuk kemitraan yang terstruktur, salah satunya dalam mengadopsi inovasi teknologi di bidang EBT.
Selain Denmark, Inggris juga berkomitmen dalam kerangka program FIRE. Inggris akan membantu Indonesia dalam mengembangkan potensi energi angin (PLTB).
Skema pendanaan antara Inggris dan Indonesia dalam proyek dimaksud, mencakup investasi antara 350 juta poundsterling hingga 2 miliar poundsterling.
Komitmen selanjutnya datang dari ADB (Bank Pembangunan Asia), masih dalam kerangka pendanaan bagi rencana pensiun dini PLTU, dengan rentang waktu hingga tahun 2030.
Skema bantuan ADB adalah menyiapkan transisi PLTU kapasitas 9,2 gigawatt (GW), terbagi dalam 5,5 GW dipensiunkan tanpa penggantian, serta 3,7 GW dihentikan dengan substitusi sumber energi yang lebih bersih.
Berdasarkan kajian terhadap salah satu unit PLTU, perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk memensiunkan dini mencapai Rp2 miliar per megawatt per tahun.
Skema pendanaan lain adalah apa yang disebut mekanisme transisi energi (ETM), yaitu pembiayaan gabungan (blended finance) untuk mendukung percepatan penutupan PLTU.
Dalam tahap rintisan sepanjang 2-3 tahun, ETM akan menggalang sumber dana yang diperlukan untuk mempercepat penutupan PLTU.
Skema ETM juga memfasilitasi investasi energi terbarukan sesuai potensi setiap negara. Dalam skenario ADB, Indonesia dan Filipina menjadi pilot project dalam kemitraan ETM.
Kemudian ada program kemitraan Green Climate Fund (GCF), entitas global pendanaan perubahan iklim di bawah PBB, yakni UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).
Melalui supervisi BKF (Badan Kebijakan Fiskal) Kemenkeu, GCF sudah menyalurkan dana sejumlah 212,9 juta dollar AS (sampai akhir 2020).
GCF mendukung pendanaan tiga proyek mitigasi perubahan iklim, masing-masing dua proyek mendukung pengembangan EBT, sedang satu proyek lagi di sektor kehutanan.
Jumlah dana hibah GCF tersebut bisa memberi gambaran, soal besaran dana dalam investasi transisi energi.
Berdasarkan kajian IRENA (Badan Energi Terbarukan Internasional), ASEAN membutuhkan pembiayaan besar untuk program transisi energi, untuk mencapai 100 persen energi terbarukan tahun 2050, dibutuhkan dana sekitar 29,4 triliun US dollar.
Untuk itu diperlukan dukungan pendanaan dari negara maju dan institusi finansial global seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), Asia Zero Emission Community (AZEC), ADB (Asian Development Bank), dan seterusnya.
Salah satu skema pendanaan yang sudah berjalan adalah platform Energy Transition Mechanism (ETM), yang diharapkan bisa menjadi model pensiun dini (early retirement) PLTU kawasan Asia Tenggara.
ETM mendapat dukungan penuh Bank Pembangunan Asia (ADB), yang bekerja sama dengan mitra regional dan internasional.
Dalam praktiknya, mekanisme atau skema pendanaan yang bernilai miliaran dolar, diprioritaskan mendukung pensiun dini atau penggunaan kembali PLTU dengan jadwal yang dipercepat.
Alokasi lainnya, fokus pada investasi energi bersih baru dalam pembangkitan, penyimpanan, dan peningkatan jaringan.
ADB akan mendukung masing-masing negara (ASEAN) untuk menetapkan kebijakan dan kondisi bisnis yang memungkinkan untuk meningkatkan tata kelola program, pengurangan karbon, dan tujuan transisi yang adil.
Selama fase percontohan selama dua hingga tiga tahun, ETM akan meningkatkan sumber daya keuangan yang diperlukan untuk mempercepat penghentian lima hingga tujuh pabrik batu bara di Indonesia dan Filipina, sembari memfasilitasi investasi dalam opsi energi bersih di negara-negara tersebut.
*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.