Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai keberhasilan program Makan Bergizi Gratis (MBG) akan sangat bergantung pada rantai pasok domestik agar tidak menimbulkan ketergantungan impor.
“Program Makan Bergizi Gratis tentu membawa dampak positif. Tetapi di sisi lain, jika kebutuhan bahan makanannya tidak dipenuhi dari dalam negeri, program ini justru bisa mendorong impor pangan,” ujar Esther dalam siaran pers di Jakarta, Kamis.
Jika bahan pangan seperti susu, telur, tepung, dan sumber karbohidrat lainnya diserap dari petani dan produsen lokal, maka akan terjadi efek berganda bagi ekonomi daerah, katanya, menjelaskan.
“Misalnya, di Papua bisa menggunakan sagu, di Nusa Tenggara Timur memakai tepung lokal, atau di Madura memanfaatkan jagung,” ujar dia.
Menurut dia, pendekatan berbasis pangan lokal bukan hanya memperkuat ekonomi rakyat, tetapi juga menumbuhkan kemandirian pangan nasional.
Namun, Esther mengingatkan bahwa pelaksanaan MBG juga memiliki sejumlah tantangan logistik dan potensi risiko teknis, terutama dalam aspek distribusi makanan ke sekolah-sekolah.
Ia juga menekankan distribusi makanan perlu ditangani secara profesional. Keterlambatan pengiriman dapat membuat bahan pangan rusak, dan itu berisiko tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi juga membahayakan keselamatan anak-anak.
Untuk mengantisipasi itu, ia menyarankan agar pemerintah menggandeng komite sekolah dan dapur umum lokal, seperti model yang diterapkan di Jepang. Menurutnya, pendekatan berbasis komunitas akan mempermudah kontrol kualitas dan memperkuat rasa tanggung jawab sosial.
Di Jepang, lanjutnya, dapur umum dikelola bersama komite sekolah sehingga menu dan bahan makanan dapat dikontrol dengan baik. Pola tersebut dinilai lebih efektif dibandingkan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak ketiga tanpa pengawasan langsung.
Selain aspek logistik, Esther juga menyoroti dampak fiskal dari program ini. Menurutnya, MBG merupakan kebijakan konsumtif yang membutuhkan dana besar dan berkelanjutan, sehingga harus diimbangi dengan evaluasi ketat agar tidak mengorbankan program produktif lainnya.
“Lebih baik dimulai dari daerah prioritas dulu. Dari situ bisa dievaluasi efektivitas, mekanisme distribusi, hingga potensi kebocorannya. Setelah hasilnya jelas, baru diperluas secara bertahap,” katanya.
Lebih jauh, Esther menegaskan bahwa keberhasilan MBG tidak semata diukur dari seberapa banyak anak yang menerima makanan gratis, tetapi dari sejauh mana program ini mendorong tumbuhnya ekonomi lokal dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
“Kalau pelaksanaannya baik, MBG bisa menggerakkan ekonomi desa, memperkuat industri pangan lokal, dan menambah lapangan kerja. Tapi kalau asal-asalan, hanya akan menjadi proyek sesaat tanpa dampak ekonomi nyata,” katanya.
Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































