Jakarta (ANTARA) - Karya sastra seringkali menghadirkan dunia realita yang paradoks, ironi, dan satire. Ketiga hal itu, keberadaannya dalam karya sastra merupakan realita puncak, minimal dalam pandangan teori New Criticisme.
Karya sastra seringkali dipicu oleh realita hidup yang pedih, pilu, timpang, kejam, dan tidak berperikemanusiaaan. Begitu banyak karya sastra lahir tersebab demikian. Novel "Lampuki" karya Arafat Nur, sebagai contoh, lahir disebabkan impresi sastrawan atas hegemoni kekuatan militeristik Orba di Aceh.
Apalagi, sastra media (cetak maupun elektronik) yang mengandalkan kecepatan serupa "berita", menyuguhkan teks sastra yang hadir aktual sebagai refleksi estetik atas realitas kehidupan. Novel-novel sosial politik tak jauh berbeda, berangkat dan bermula dari realita yang paradoks, ironis, dan satire.
Ada tulisan menarik dari M Zaid Wahyudi di sebuah harian ibu kota (4/7/2024), berjudul "Sastra, Otak, dan Masyarakat Modern" yang mengulik perihal pentingnya sastra dalam kehidupan manusia.
Mari cermati kutipan yang begitu menyadarkan, "Meski awam menganggap sastra sebagai studi pinggiran, profesor sastra dan neurosains dari Universitas Negeri Ohio (OSU) Amerika Serikat Angus Fletcher, justru berpandangan berbeda. Dari berbagai risetnya, nyata, jika sastra justru berperan besar dalam membersamai manusia dalam membangun peradabannya."
Pesan kutipan itu menyentil logika, "Sastra tidak diciptakan hanya sebagai hiburan atau hanya menyampaikan pesan kepada pembaca semata, tetapi merupakan salah satu bentuk teknologi," begitulah ungkap Fletcher sebagaimana dikutip Jeff Grabmeier dan Aaron Nestor.
Masih meragukan fungsi sastra bagi kehidupan manusia? Mari meluruskan pikiran dan pandangan kita dalam menghadapi dunia sastra.
Sastra itu adalah jejak, potret realita sosial, inspirasi, motivasi, dokumen sejarah, hasil budaya, sains, kelembutan hati, taman filsafat, serta buah pikiran dan jiwa.
Jika ingin bersentuhan dengan sastra, maka pendekatan multisudut dan multibidang demikian wajib menjadi sudut telisik-ulik atas realita imajinasi untuk menemukan roh nilai dan makna yang ada di dalamnya. Jika tidak, maka keindahan dan kemanfaatan sastra, sebagaimana ditegaskan Rene Wellek, tidak akan terpetik.
Novel "Laskar Pelangi", karya Andrea Hirata, jelas menyuguhkan inspirasi dan motivasi pendidikan yang luar biasa melalui tokoh guru Muslimah di satu sisi dan di sisi lain tokoh Ikal yang mampu keluar dari garis kemiskinan. Inspirasi kemiskinan sebagai magnet kesuksesan hidup manusia.
Novel "Jazz, Parfum, dan Insiden" karya Seno Gumira Adjidarma, memotret realitas perang di Timor Timur, dipenuhi emosi yang membekap para tokohnya. Kekuatan sejarah budaya di dalam teks sastra, misalnya, tampak pada dua novel Umar Kayam yang monumental, "Para Priyayi" dan "Jalan Menikung".
Sementara, realita budaya populer, dengan dominasi media sosial, tampak pada novel "Kerumunan Terakhir" karya Okky Madasari, yang bercerita bagaimana hegemoni media melantakkan kehidupan sepasang keluarga muda, yang saling menutup identitasnya, memiliki nama media yang tidak saling dikenali. Penyintas seksual, Maera, adalah korban sosok misterius bernama Matajiwa, dengan manipulasi citra media sosialnya.
Realita jiwa terpasung, melalui tokoh Sasana yang dilindas realitas keluarga dan sosial politik tampak pada novel Okky yang lain, "Pasung Jiwa".
Kisah kehidupan pesantren dipotret apik oleh Ahmad Fuadi melalui novel "Negeri 5 Menara". Muatan sains tampak pada novel Dee Lestari berjudul "Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh". Novel karya Mashuri berjudul "Destination: Jakarta 2040", pun, Henry Manampiring yang melahirkan novel "Hitam 2045" yang menampilkan sains politik di masa depan sebagai negara kuat secara ekonomi dan politik di tahun 2045.
Sementara itu, novel lembut yang mengangkat gejolak psikologis perempuan misalnya, tampak pada karya Andina Dwifatma berjudul "Lebih Senyap dari Bisikan". Sebuah problem sosial-ekonomi-budaya keluarga lewat sosok Amara. Aroma penggugatan sosial-politik tampak pada novel Ayu Utami, "Saman" dan "Larung". Begitu sastra, bercerita, berbicara, dan mendiskusikan realita hidup via cerita dan penuh estetika.
Demikianlah sastra berperan, sebagai teman diskusi imajinatif di satu sisi dan di sisi lain sebagai simulator pikiran dan jiwa bagi pembaca. Cerita dalam karya sastra, merupakan alat yang dirancang pengarang dalam mengurangi kecemasan, meringankan depresi, menyalakan kreativitas, memacu keberanian, serta menghadapi berbagai tantangan psikologis lain menjadi manusia seutuhnya.
Sementara, nenek moyang kita dulu pun, telah memberikan contoh terbaik dengan mengisahkan banyak cerita berupa dongeng sebelum tidur kepada anak-cucu. Tema pun beragam, seperti kecerdikan, mitologis, hantu, ksatria, dan makna persahabatan.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.