Jakarta (ANTARA) - Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kebijakan yang membuka peluang bagi warga negara asing (WNA) untuk memimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pernyataan ini disampaikan dalam forum Forbes Global CEO Conference 2025 di Jakarta.
Dalam implementasinya, dua WNA, Balagopal Kunduvara dan Neil Raymond Mills, telah diangkat sebagai Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko serta Direktur Transformasi Garuda Indonesia, melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (15 Oktober 2025). Lebih jauh, Presiden Prabowo juga menginstruksikan Danantara Indonesia, lembaga pengelola investasi negara, untuk mencari talenta terbaik secara global guna memimpin BUMN dengan standar internasional.
Langkah ini diklaim pemerintah bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, profesionalisme, dan daya saing BUMN di tingkat global. Dari perspektif hukum tata negara, langkah ini menimbulkan perdebatan serius, bila dikaitkan dengan spirit konstitusi, khususnya Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya, Pasal 33 ayat (4) menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Kebijakan membuka warga asing dapat menjadi pimpinan BUMN perlu dibaca, tidak hanya dari teks pasal, tetapi juga suasana kebatinan UUD 1945. Membaca UUD 1945 tidak sekadar menelaah teks pasal-pasalnya, tetapi juga menafsirkan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan tujuan fundamental yang ingin diwujudkan oleh para pendiri bangsa.
Sebagaimana ditegaskan oleh Notonagoro, keadilan sosial merupakan inti dan puncak nilai dalam filsafat Pancasila, yang menjadi dasar moral dan arah penyelenggaraan negara. Di dalam UUD 1945 terkandung cita keadilan yang bersifat integral, tidak hanya keadilan hukum, tetapi juga keadilan ekonomi, sosial, dan moral, sehingga setiap kebijakan negara tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil, manusiawi, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Suasana kebatinan ini menekankan bahwa kontrol atas sumber daya strategis, termasuk BUMN, adalah bagian dari kedaulatan ekonomi yang melekat pada negara dan rakyat Indonesia.
Dengan menempatkan WNA pada posisi strategis di BUMN, terdapat risiko nyata bahwa penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dapat perlahan tergerus dan kehilangan daya kendali. Artinya bahwa berkurangnya kontrol dan pengaruh negara dalam pengambilan keputusan strategis yang menyangkut sumber daya vital. Dampak ini tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga praktis, karena keputusan manajerial dapat dipengaruhi oleh kepentingan asing yang mungkin tidak selaras dengan kepentingan nasional.
Ketentuan kewarganegaraan
Pasal 15A ayat (1) huruf a U Nomor 16 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menegaskan bahwa untuk dapat diangkat menjadi anggota direksi, calon harus merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Namun, UU BUMN memberikan ruang fleksibilitas melalui delegasi wewenang kepada Badan Pengaturan (BP) BUMN. Aturan ini tercantum dalam Pasal 15A ayat (3), yang berbunyi: "Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat ditentukan lain oleh BP BUMN."
Dengan kata lain, BP BUMN memiliki kewenangan untuk menetapkan persyaratan yang berbeda dari ketentuan umum, termasuk soal kewarganegaraan. Inilah dasar hukum yang memungkinkan BP BUMN, jika diperlukan, memberikan pengecualian bagi calon direksi yang bukan WNI.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.