Menpar sebut pemerintah siap bahas RUU Kepariwisataan bersama DPR RI

13 hours ago 4

Jakarta (ANTARA) - Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menyebut pemerintah siap membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepariwisataan bersama dengan Komisi VII DPR RI.

"Hasil koordinasi yang dilakukan Kementerian/Lembaga (K/L) tanggal 21 lalu, ini dihadiri oleh tujuh K/L yang ditunjuk sebagai wakil pemerintah sebagaimana diatur dalam Surat Presiden juga tujuh K/L terkait dengan substansi rancangan undang-undang," kata Widiyanti dalam Rakor bersama Komisi VII DPR RI yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.

Widiyanti mengatakan para wakil pemerintah yang terdiri atas Kementerian Pariwisata, Kementerian PAN-RB, Kementerian Hukum, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi serta Kementerian Kebudayaan telah melakukan koordinasi untuk menindaklanjuti pembahasan soal RUU tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan.

Adapun hasil rapat yang disepakati yakni seluruh K/L yang terlibat siap untuk membahas sejumlah poin yang perlu diperbaiki. Pemerintah juga tetap berpegang pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang telah diserahkan kepada DPR sebelumnya

Dalam rapat koordinasi itu Kementerian Pariwisata juga telah melakukan konfirmasi terkait sejumlah isu yang menjadi fokus pada rapat kerja pada tanggal 3 Februari 2025 sebelumnya.

Baca juga: Komisi VII minta edukasi pariwisata pada masyarakat ditingkatkan

"Tanggapan pemerintah masih sama dengan DIM yang disampaikan sebelumnya. DIM yang disampaikan merinci tanggapan pemerintah per masing-masing poin pembahasan kami rangkum ada total 1.508 DIM mulai dari bagian preambule hingga penjelasan," ujar Widiyanti.

Widiyanti menyebut sejumlah DIM yang pernah dibahas sebelumnya adalah pendidikan, istilah wisatawan hingga diplomasi budaya.

Pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009, materi terkait pendidikan belum diatur. Namun dalam RUU Inisiatif DPR pendidikan diminta untuk dimasukkan dalam BAB IV-B.

Menanggapi poin itu, Widiyanti menjelaskan pemerintah meminta bab tersebut dihapus dengan alasan pemerintah berpandangan pendidikan secara nasional telah diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

"Sehingga peraturan pendidikan berpotensi tumpang tindih bila diatur dalam RUU Kepariwisataan," kata dia.

Menurutnya, materi muatan dalam konteks kepariwisataan dapat diakomodasi dalam pasal terkait pengembangan sumber daya manusia pariwisata yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian terkait dengan istilah pariwisata, dalam undang-undang kepariwisataan saat ini, disebutkan bahwa dalam pasal 1 yang dimaksud dengan wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.

Baca juga: Kemenpar minta pengelola destinasi perhatikan kelestarian lingkungan

Sedangkan dalam RUU Inisiatif DPR istilah wisatawan diminta mengacu pada kata pengunjung yang diartikan sebagai setiap orang yang melakukan perjalanan ke negara atau ke suatu tempat di luar lingkungan asalnya dalam jangka waktu kurang dari satu tahun untuk tujuan rekreasi, kepentingan usaha, memperluas pengetahuan, mempelajari keunikan, keeksotisan dan keotentikan daya tarik wisata, dan/atau meningkatkan kualitas hidup.

Pemerintah menanggapi bahwa lebih baik istilah itu dikembalikan menjadi hanya satu istilah yang digunakan yakni wisatawan. Widiyanti menjelaskan penambahan istilah yang diatur dalam RUU akan memperluas cakupan, membuat potensi tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya atau adanya hal yang tidak atau belum diatur.

"Kemudian secara tatanan internasional memang ada yang menggunakan tiga istilah, namun belum ada komparasi, hanya satu wisatawan," katanya.

Ia melanjutkan implementasinya juga akan sulit karena bertentangan dengan dokumen perencanaan nasional yang juga diformalisasi dengan undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045.

"Istilah wisatawan telah banyak digunakan oleh sektor lain, sehingga apabila ditambahkan istilah pengunjung dan pelancong akan berpotensi terjadi ketidaksinkronan dengan RUU," ujarnya.

Baca juga: Kemenpar minta penyelenggara event lebih perhatikan pengelolaan sampah

Adapun pendalaman pembahasan DIM soal diplomasi budaya, pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 belum diatur. Kemudian dalam RUU Inisiatif DPR materi itu diminta diatur dalam BAB IV-E soal diplomasi budaya.

Widiyanti pun menyatakan pemerintah minta bab tersebut untuk dihapus. Dalam tanggapan pemerintah diplomasi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Dalam pasal 35, katanya, pemerintah dapat melakukan diplomasi budaya untuk meningkatkan peran aktif dan pengaruh Indonesia dalam hubungan internasional.

Selanjutnya, kata diplomasi tidak perlu dinormalkan, apabila dinormalkan akan menimbulkan permasalahan karena dapat memunculkan istilah diplomasi di sektor lain dan dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan.

Ia juga menyampaikan ada beberapa pasal yang tidak dapat diatur kembali dalam RUU Kepariwisataan karena sudah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Adapun pasal yang tercantum yakni pasal 14, 15, 26, 29, 30 dan 54. Sementara sudah ada pasal-pasal yang dihapus yakni pasal 16, 56, dan 64.

Baca juga: Menpar dorong misi promosi pariwisata Indonesia di Jerman

Baca juga: Kemenpar bukukan potensi transaksi Rp155 miliar di AIME 2025

Baca juga: Kemenpar imbau pemda patuhi SE Lebaran guna jaga keamanan wisatawan

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |