Surabaya (ANTARA) - Dalam realitas Indonesia mutakhir, barangkali, ada hal menarik direnungkan tentang hakikat kepemimpinan. Apalagi, baru saja bangsa kita diuji oleh kejadian demonstrasi yang menguji naluri kepemimpinan, siapa pun pejabat, birokrat, dan politikus negeri ini.
Artikel berikut mencoba mengulik pesan kepemimpinan yang ditawarkan sejarah kepemimpinan Tiongkok klasik, seni memimpin ala Sun Tzu.
Fenomena kepemimpinan bangsa dalam sepuluh tahun terakhir, dinilai beberapa kalangan kurang berbentuk, terkesan "ceroboh" dalam jangka panjang. Hingga saat ini, dinilai kurang meletakkan hakikat kepemimpinan yang bukan pada keahliannya. Jika dilihat dari fenomena yang muncul, pola-pola yang ada, terindikasi bagaimana prinsip manajemen berkualitas kurang diindahkan dengan tepat dan cepat.
Banyak kisah menarik tentang pemimpin sebenarnya jika kita mau menengok sejarah, menelisik di balik khazanah hidup sejarah bangsa kita dan bangsa-bangsa lain di dunia. Paling tidak, kita mengenal ada pemimpin yang karena banyak pertimbangan, sehingga menjadikannya peragu.
Sebaliknya, ada pula kisah tentang kepemimpinan yang keberaniannya kelewat batas, kurang perhitungan, seakan dia pemimpin pemberani, tetapi sesungguhnya adalah pemimpin ceroboh. Hal ini bisa merugikan kehidupan bangsa di masa depan, kala yang bersangkutan sudah tak memimpin. Ada lagi kisah pemimpin yang "materialistik", di mana pola dan gaya kepemimpinannya berprinsip yang penting "mendapat". Begitu seterusnya.
Sun Tzu dikenal sebagai ahli strategi dari Tiongkok kuno. Kita sering mendengar nama itu, bahkan kadang kita membincangkan buku Seni Berperang ala Sun Tzu. Di dalamnya adalah strategi Sun Tzu yang sering dibincangkan secara eksotik-klasik, begitu dahsyat "pelajaran" yang hadir sekitar 2300 tahun lalu. Apa yang menarik? Yuk kita cermati, bagaimana pemikiran Sun Tzu yang bermanfaat bagi kehidupan, bagi dunia bisnis, dunia pendidikan, atau kehidupan lain secara umum.
Di majalah yang berisi tentang motivasi, edisi Januari 2009, ada seni kepemimpinan klasik yang menarik diimplementasikan. Ada sebuah artikel memikat, berjudul; "5 Prinsip Kepemimpinan Sun Tzu". Jika kita renungkan dalam konteks kekinian, khususnya bagaimana mengelola dunia pendidikan atau umum, misalnya, tampaknya sangat menarik. Meski, bermula dari "dunia perang", filosofi militer, bukankah mengelola bidang kehidupan sekarang tak ubahnya perang melawan kompetitor kehidupan, baik tampak maupun tidak tampak.
Lima prinsip yang ditawarkan Sun Tzu adalah; (1) zhi (kecerdasan), (2) xin (kepercayaan), (3) ren (kebajikan), (4) yong (keberanian), dan (5) yan (ketegasan). Bagaimana jika memimpin tanpa kecerdasan, kepercayaan, kebajikan, keberanian, dan ketegasan? Mari kita cermati, dengan merefleksikan kehidupan dunia pendidikan kita.
Pertama, prinsip zhi (kecerdasan). Secara bebas, zhi berarti kecerdasan, pengalaman, pengetahuan, kebijaksanaan, dan visi. Apa yang tidak substansial dari arti yang dirujuk prinsip ini? Jika kita ingin menjadi pemimpin, yang dibutuhkan paling tidak pengalaman memimpin, di situlah pengetahuan tercipta dengan seni kecerdasan alami, itu pun jika kita mau terus belajar.
Seni mengembangkan kecerdasan, hemat saya, bermula dari kepekaan dan kejelian yang selalu ingin mengulik segala sesuatu, terlebih sebuah keberhasilan yang dilakukan oleh orang lain. Seni bersahabat dengan pengalaman pribadi adalah telaga renung yang akan menjadi batu asah untuk mengilaukan seni kepemimpinan itu.
Baca juga: Rumah Kepemimpinan gelar forum pemimpin muda untuk Indonesia Emas 2045
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.