Jakarta (ANTARA) -
Legislator Komisi IX DPR menyebutkan, turunnya target pengawasan obat dan makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebesar 87 persen menunjukkan bahwa lembaga itu belum memiliki kekuatan penuh meski bertanggung jawab langsung pada Presiden.
“Padahal kita ini berhadapan dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta. Kemudian juga gaya hidup masyarakat yang seringkali saya ulang-ulang Pak, masyarakat itu selalu mencari produk-produk yang terjangkau dengan kantongnya, produk-produk yang murah, produk-produk yang mudah didapatkan,” kata anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani di Jakarta, Rabu.
Adapun penurunan target itu karena BPOM menyesuaikan dengan pagu anggaran 2026 sebesar sekitar Rp2,25 triliun. Dalam rapat bersama BPOM di Jakarta, Rabu, Netty menyebutkan bahwa anggaran adalah instrumen penting, bahkan ideologis, dalam menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa.
Dia menjelaskan, terdapat berbagai risiko kesehatan, ekonomi, perdagangan, hingga kepercayaan publik apabila dari penurunan target akibat kurangnya pembiayaan itu.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga mengkritisi capaian program BPOM yang masih rendah. Menurutnya, peningkatan pengetahuan masyarakat baru 32 persen, layanan informasi 66 persen, dan fasilitator pemberdayaan hanya 23,5 persen.
"Kalau kita lihat Bapak kemudian mengusulkan tambahan anggaran, kok saya agak terusik ya Pak, kenapa? Karena justru di sini dukungan manajemennya ini besar Pak, padahal fungsi pengawasan dan penindakan sekali lagi menjadi ruh dan DNA dari Badan POM,” katanya.
Dia mempertanyakan penempatan anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) di BPOM. Menurutnya, hal itu berisiko mengaburkan fokus lembaga yang seharusnya menjalankan fungsi utama pengawasan obat dan makanan.
“Kenapa kemudian anggarannya juga ditaruh di Badan POM? Dengan tugas tambahan yang juga tidak kalah mulia, tapi harus kita luruskan ya, agar anggaran ini betul bisa digunakan sebesar-besarnya untuk melindungi rakyat Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: BPOM butuh tambahan Rp2,6 triliun agar program prioritas optimal
Menurutnya, dengan pengawasan terhadap hampir 800 ribu produk, lebih dari 130 ribu izin edar, serta pangan olahan yang 55 persennya berasal dari UMKM, maka BPOM tidak boleh kehilangan orientasi.
“Kasian masyarakat kita kalau tidak mendapatkan pembinaan pendampingan dari tugas asasi Badan POM sebagai lembaga yang dibentuk oleh Presiden bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk menjalankan fungsi pengawasan dan peredaran obat dan makanan,” dia menambahkan.
Adapun Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan bahwa pihaknya membutuhkan tambahan anggaran sebesar Rp2,605 triliun untuk melaksanakan program prioritas nasional serta menjalankan tugas dan fungsi lembaga secara lebih optimal.
Taruna merinci peruntukan anggaran tambahan itu, yakni kebutuhan sebesar sekitar Rp838 miliar untuk dukungan sejumlah program prioritas, antara lain melalui pemberian makanan bergizi gratis (MBG), Program Keluarga Harapan, eliminasi tuberkulosis (TBC), hingga pengelolaan sampah.
Baca juga: Legislator: Minimnya anggaran BPOM lemahkan penindakan
Sementara, katanya, sebesar sekitar Rp1,872 triliun untuk melaksanakan tugas dan fungsi BPOM, antara lain pemeriksaan sarana, penyusunan standar, penindakan, uji lab, pengembangan sumber daya manusia, hingga penyusunan regulasi.
Baca juga: BPOM ingatkan masyarakat lakukan terapi di layanan kesehatan resmi
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.