Warga Jepang serukan perdamaian pada peringatan pertempuran Okinawa

3 months ago 54

Jakarta (ANTARA) - "Anggaran seharusnya dibelanjakan untuk beras, bukan rudal," kata Kunio Aragaki, seorang warga Okinawa, kepada Xinhua dalam rangka peringatan 80 tahun berakhirnya Pertempuran Okinawa.

Warga Jepang berkumpul di Okinawa untuk mengenang para korban Perang Dunia II sekaligus menyuarakan penolakan terhadap meningkatnya anggaran pertahanan dan kehadiran militer di wilayah tersebut.

Delapan dekade setelah pertempuran yang menewaskan sekitar seperempat populasi Okinawa, wilayah paling selatan Jepang ini masih memikul beban berat sebagai lokasi pangkalan militer Amerika Serikat, sekaligus menjadi garda depan dalam kebijakan pertahanan nasional Jepang yang semakin agresif.

Selama serangkaian acara peringatan yang berlangsung dalam beberapa hari terakhir, masyarakat mendesak pemerintah Jepang agar merefleksikan kebijakan keamanannya serta tidak mengulangi kesalahan masa lalu yang menjerumuskan negara dalam peperangan.

Puncak peringatan digelar pada Senin (23/6) di Taman Peringatan Perdamaian di Mabuni, Kota Itoman. Ratusan pengunjung dari seluruh penjuru Jepang berkumpul di depan monumen batu yang terukir nama-nama para korban, untuk berdoa dan mengenang mereka yang gugur dalam Pertempuran Okinawa.

Chihiro Yoshinaga, seorang warga Okinawa, datang bersama putranya untuk mengenang kakek buyutnya yang merupakan seorang guru sekolah dan menjadi korban pertempuran.
“Saya ingin anak saya tahu betapa mengerikannya perang. Yang paling penting adalah tidak pernah melupakan apa yang telah terjadi,” ujarnya kepada wartawan.

Dalam upacara malam sebelumnya, Tomoko Nishizaki dari Prefektur Okayama mengenang ayah mertuanya yang tewas dalam pertempuran.
“Selama puluhan tahun kami selalu datang ke sini. Saya sungguh berharap kedamaian bisa benar-benar terwujud,” tuturnya.

Kekhawatiran terhadap kebijakan pertahanan

Selain mengenang masa lalu, banyak warga menyatakan keprihatinan terhadap kebijakan pemerintah Jepang yang dianggap bisa membawa Okinawa kembali menjadi zona konflik militer.

Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang secara signifikan meningkatkan belanja pertahanannya. Pada akhir 2022, pemerintah mengesahkan kebijakan keamanan nasional baru dengan target peningkatan anggaran pertahanan hingga mencapai sekitar 43 triliun yen antara tahun fiskal 2023 hingga 2027. Jumlah ini setara dengan 2 persen produk domestik bruto (PDB) Jepang pada 2027.

Kebijakan tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan warga, khususnya di Okinawa. Takamatsu Gushiken, warga lokal, menyebut langkah tersebut berisiko memancing ketegangan regional.

“Ini sangat berbahaya. Meningkatkan anggaran pertahanan dan kekuatan militer hanya akan membuat negara-negara tetangga semakin waspada. Perdamaian seharusnya dicapai melalui dialog dan diplomasi, bukan dengan kekerasan,” katanya.

Ia juga menyoroti perluasan Pangkalan Pasukan Bela Diri di Okinawa yang disebutnya sebagai tren berbahaya. “Perluasan ini harus dihentikan sebelum terlambat,” tegasnya.

Di lokasi peringatan, warga Kunio Aragaki mengadakan jajak pendapat sederhana dengan menggunakan stiker untuk mengukur dukungan terhadap penempatan rudal jarak jauh di Okinawa. Hasilnya menunjukkan mayoritas pengunjung menolak rencana tersebut.

“Seperti yang Anda lihat, hampir semua orang di sini menolaknya. Kami sepenuhnya menentang peningkatan kekuatan militer di wilayah barat daya Jepang,” ujarnya kepada Xinhua.

Aragaki juga mengkritisi peningkatan anggaran pertahanan yang dinilai tidak berpihak pada kebutuhan rakyat. “Anggaran itu seharusnya digunakan untuk membeli beras, bukan rudal. Harga beras baru-baru ini melonjak tajam,” ungkapnya.

Warga yang hadir dalam peringatan tersebut menyuarakan pentingnya belajar dari sejarah agar kesalahan masa lalu tidak terulang. “Kita harus merenungi alasan mengapa negara ini pernah terjerumus dalam peperangan,” kata Gushiken.

Ia menambahkan, refleksi sejarah tidak boleh dilakukan dari sudut pandang sendiri saja, melainkan juga harus mempertimbangkan sudut pandang bangsa lain. “Kalau kita hanya melihat dari kacamata kita sendiri, pemahaman kita akan sejarah akan selalu tidak utuh,” katanya.

“Kita tidak boleh melupakan kerugian yang telah kita timbulkan kepada orang lain,” pungkas Gushiken.

Pewarta: Xinhua
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |