Jakarta (ANTARA) - Pakar keamanan siber lulusan Universitas Indonesia Ruby Alamsyah mengingatkan wartawan agar tidak sembarangan memasukkan data sensitif ke platform kecerdasan buatan (AI).
Menurutnya, informasi yang dimasukkan ke platform generatif AI akan direkam, disimpan, dan diolah kembali oleh penyedia layanan. Apabila sistem mengalami kesalahan konfigurasi atau peretasan, data sensitif yang tersimpan di sistem berisiko bocor.
“Jadi data kita direkam sama mereka. Data sensitif investigasi wartawan bisa saja bocor atau terekspos, misalnya karena kesalahan konfigurasi, peretasan, atau kebocoran lainnya,” kata Ruby dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Kamis..
Ia mencontohkan, wartawan yang mengolah data transkrip wawancara berisi informasi sensitif, seperti kasus korupsi yang melibatkan pejabat, menggunakan AI untuk dapat terekspos ke publik karena kebocoran data.
Baca juga: OTP lewat SMS dinilai lebih aman dari pesan instan
Di sisi lain, Ruby juga menilai AI berpotensi dijadikan senjata untuk merusak kredibilitas wartawan, misalnya lewat deepfake atau manipulasi konten digital lain. Selain itu, maraknya disinformasi di internet bisa merusak kualitas data yang diolah AI, sehingga jawaban yang dihasilkan tidak kredibel.
"AI salah satu sumbernya adalah internet. Kalau dengan cara tertentu mereka bisa membanjiri data-data dengan hoaks yang masif, dengan data-data yang luar biasa besar baik dari postingan artikel, media sosial, berita-berita palsu, dan lain-lain, akhirnya, jawaban AI itu jadi bias dan berubah," ucap Ruby.
Oleh karena itu, Ruby menjelaskan empat langkah pencegahan agar wartawan lebih aman menggunakan AI. Pertama, tidak pernah mengunggah informasi rahasia, identitas sumber, data yang belum dipublikasikan, ataupun data investigasi yang sensitif.
Kedua, memperlakukan AI layaknya media sosial, sehingga hal-hal yang tidak ingin dipublikasikan sebaiknya tidak dimasukkan ke AI.
Baca juga: Buka-tutup situs KPU bukan satu-satunya solusi hindari peretasan
Ketiga, melakukan sanitasi data atau pembersihan data sebelum menganalisis dokumen wawancara dengan AI.
“Misalnya kita mau menganalisa atau menuliskan artikel, ketika menyebutkan nama sumber, perusahaan, atau detail lainnya bisa kita ubah dengan data lain. AI bisa tetap menjawab dengan benar, tapi data sensitif kita tidak perlu disampaikan,” jelasnya.
Keempat, Ruby mengimbau agar informasi yang dihasilkan AI diperlakukan hanya sebagai referensi, bukan fakta mutlak.
“Setiap kita dapat jawaban dari AI, coba tanya kembali. Biasanya AI akan berpikir ulang dan banyak yang salah. Tapi kalau (informasi buatan AI) memang sempurna dan ada referensi, baru dia menyebutkan (bahwa informasinya itu benar) Jadi pastikan AI kita adalah sebagai sumber, bukan fakta secara langsung,” tandasnya.
Baca juga: Pakar: kejahatan siber perbankan masih marak
Baca juga: Pakar: operasional BSSN harus dipercepat
Baca juga: Analis: waspada serangan siber masih mengancam
Pewarta: Farhan Arda Nugraha
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.