SP dorong mekanisme lintas batas atasi TPPO pada pekerja perempuan

1 month ago 13

Jakarta (ANTARA) - Organisasi kemasyarakatan Solidaritas Perempuan (SP) mendorong pemerintah untuk menjalin kolaborasi mekanisme lintas batas negara guna memberantas tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terhadap pekerja migran perempuan.

"Mekanisme cross-border menjadi sangat penting mengingat TPPO tidak hanya terjadi di dalam negeri tetapi banyak yang kemudian misalnya seperti PMI perempuan migran kita terjadi di lintas negara," kata Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Armayanti Sanusi dalam dialog publik di Komnas Perempuan, Jakarta, Kamis.

Armayanti mengatakan kerja sama pada mekanisme lintas batas perlu diperkuat baik pada proses pencegahan maupun pada aspek penanganan.

"Banyak refleksi menunjukkan korban human trafficking, online scam misalnya, korban online scam ini banyak sekali yang harus membayar sendiri biaya pemulangan mereka," katanya.

Padahal, para pekerja migran tersebut adalah korban TPPO yang seharusnya ditanggung oleh negara.

Namun, indikator-indikator untuk mendefinisikan para pekerja tersebut sebagai korban TPPO sendiri, menurut dia, belum ditetapkan secara jelas sehingga menimbulkan pengabaian terhadap situasi yang mereka alami.

Kemudian, selain kolaborasi pada mekanisme lintas batas, Armayanti juga mendorong penguatan pada sejumlah kerja sama yang telah disepakati di antara negara-negara anggota ASEAN dalam pemberantasan TPPO.

"Sebenarnya ada banyak mekanisme kerja sama di ASEAN. Tapi, memang itu tidak diimplementasikan dengan baik, terutama pada konteks pencegahan atau penanganan antar negara," kata dia.

Oleh karena itu, dia mendorong komitmen bersama di antara negara-negara ASEAN guna memperkuat implementasi kerja sama sehingga penanganan kasus TPPO dapat dilakukan dengan lebih baik.

Selain kolaborasi lintas batas, Solidaritas Perempuan juga mendorong penguatan kerja sama lintas kementerian, dengan organisasi masyarakat sipil, termasuk kerja sama tripartit dengan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) guna mencegah risiko eksploitasi hingga TPPO terhadap pekerja migran perempuan.

"Dalam artian P3MI juga harus punya kontribusi dan bertanggung jawab terhadap situasi-situasi yang dialami para pekerja migran perempuan," katanya.

Selain kolaborasi, pemerintah juga didorong untuk mengambil tindakan guna membenahi mekanisme lembaga pengawasan terhadap P3MI tersebut.

Hal itu dinilai penting karena sejumlah laporan menunjukkan bahwa TPPO juga dilakukan oleh P3MI yang memiliki izin perekrutan, mereka sah secara hukum, tetapi masih melakukan berbagai pelanggaran terhadap hak pekerja migran perempuan.

"Pemerintah Indonesia didorong oleh SP dan juga SBMI untuk bisa mengambil kepemimpinan dalam memberantas TPPO, terutama bagi korban TPPO di luar negeri, termasuk pekerja migran perempuan," demikian kata Armayanti, merujuk pada dorongan yang juga disampaikan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dalam dialog publik tersebut.

Baca juga: Anggota DPR: Revisi UU TPPO diperlukan guna pastikan pendekatan korban

Baca juga: LPSK terima 2.373 permohonan perlindungan TPPO dalam lima tahun terakhir

Pewarta: Katriana
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |