Islamabad (ANTARA) - Pakistan mencatat peningkatan tajam sebesar 46 persen dalam kasus kekerasan secara keseluruhan pada kuartal ketiga (Q3) 2025, di tengah berlanjutnya operasi antiterorisme dan serangan militan.
Sebuah wadah pemikir (think tank) yang berbasis di Islamabad, Center for Research and Security Studies (CRSS), pada Kamis (2/10), menyebutkan negara tersebut mencatat sedikitnya 901 korban jiwa dan 599 korban luka dalam 329 insiden kekerasan, termasuk serangan teroris dan operasi keamanan. Para korban meliputi warga sipil, personel keamanan, dan militan, kata CRSS dalam sebuah laporan.
Hingga akhir Q3, Pakistan telah melaporkan 2.414 kematian pada 2025, hampir menyamai 2.546 kematian yang tercatat sepanjang 2024, kata laporan itu, seraya menambahkan bahwa tahun ini kemungkinan besar akan melampaui jumlah kematian pada tahun lalu dengan hanya satu kuartal tersisa.
Dari 901 korban tewas pada Q3, sekitar 57 persennya merupakan militan, sementara 385 warga sipil dan personel keamanan juga tewas. Dibandingkan dengan Q2, angka-angka tersebut menandai peningkatan 55 persen dalam jumlah korban dari pihak militan, 43 persen dari warga sipil, dan 28 persen dari pasukan keamanan.
Meskipun mayoritas korban tewas merupakan pelaku kejahatan, warga sipil tetap menjadi kelompok yang paling banyak menjadi target, dengan 123 serangan yang mengakibatkan 355 orang terluka, menurut laporan itu.
Personel keamanan mengalami 106 serangan dengan 209 korban luka, sementara para militan menghadapi sekitar 100 operasi, dengan 35 korban luka.
CRSS menekankan bahwa meskipun jumlahnya tiga kali lebih sedikit daripada serangan militan, operasi keamanan menghasilkan korban jiwa yang hampir sama banyaknya.
Provinsi Khyber Pakhtunkhwa di Pakistan barat laut dan Balochistan di Pakistan barat daya menjadi lokasi kasus kekerasan terbanyak dengan lebih dari 96 persen dari total insiden. Khyber Pakhtunkhwa merupakan wilayah yang paling terdampak, dengan hampir 71 persen dari total korban jiwa, diikuti oleh Balochistan dengan 25 persen.
Pewarta: Xinhua
Editor: Hanni Sofia
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.