Jakarta (ANTARA) - Dalam perbincangan tentang mutu pendidikan tinggi, istilah “akreditasi” kerap muncul sebagai mantra. Kata ini diucapkan dengan nada formal dan penuh keyakinan, seolah-olah menjadi jaminan bahwa pendidikan berjalan baik.
Namun di balik keindahan istilah itu, ada pertanyaan mendasar yang kian sulit dihindari tentang sejauh mana akreditasi benar-benar mencerminkan kualitas pendidikan, atau hanya menjadi cermin yang memantulkan birokrasi.
Sistem akreditasi di Indonesia memang sudah berkembang pesat dalam dua dekade terakhir. Lembaga akreditasi mandiri bermunculan untuk menilai program studi dengan pendekatan yang lebih spesifik dan profesional.
Salah satunya adalah Lembaga Akreditasi Mandiri Ekonomi, Manajemen, Bisnis, dan Akuntansi (LAMEMBA), yang baru-baru ini memperoleh pengakuan dari International Network for Quality Assurance Agencies in Higher Education (INQAAHE).
Pengakuan ini menempatkan lembaga tersebut dalam jejaring global penjaminan mutu pendidikan tinggi yang mengacu pada International Standards and Guidelines for Quality Assurance in Tertiary Education.
Namun, pengakuan semacam itu seharusnya tidak berhenti di tataran simbolik. Ini semestinya menuntut introspeksi lebih dalam terhadap cara kerja sistem penjaminan mutu di Indonesia.
Karena sering kali bangsa ini terlalu cepat berpuas diri ketika sebuah lembaga mendapat pengakuan internasional, seolah-olah kualitas pendidikan nasional otomatis meningkat. Padahal, yang lebih penting bukanlah pengakuannya, tetapi perubahan sistemik yang mengikutinya.
Akreditasi pada hakikatnya adalah proses reflektif, bukan ritual administratif. Proses ini menuntut keterbukaan terhadap kritik dan keberanian untuk memperbaiki diri.
Namun dalam praktiknya, banyak perguruan tinggi masih memperlakukan akreditasi sebagai ujian kelulusan dengan sekadar memenuhi dokumen, bukan memahami maknanya.
Dalam suasana seperti itu, lembaga akreditasi berisiko kehilangan fungsi substansialnya. Karena justru bisa berubah menjadi perantara formalitas yang hanya memperkuat hierarki birokrasi pendidikan, alih-alih memperkuat budaya akademik yang sehat.
Baca juga: Mendiktisaintek soroti urgensi perubahan paradigma akreditasi kampus
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.