Membuka kran impor dengan tetap menjaga daya saing industri nasional

2 months ago 15

Jakarta (ANTARA) - Segala daya dan upaya dilakukan oleh pemerintah untuk membuat Indonesia tetap berdiri kokoh di tengah ketidakpastian perdagangan global. Diplomasi, negosiasi, kesepakatan dagang hingga deregulasi beberapa kebijakan ditempuh untuk menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif.

Dalam kondisi perubahan yang begitu cepat, mulai dari masalah geopolitik hingga geoekonomi, pemerintah berusaha mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta surplus neraca perdagangan. Sebagai langkah awal, pemerintah pun mengumumkan deregulasi terkait dengan perdagangan, khususnya di sektor impor pada akhir Juni lalu.

Pada deregulasi kebijakan perdagangan, aturan terkait impor dirumuskan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 16 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor secara umum.

Aturan baru tersebut, secara langsung mencabut Permendag Nomor 36 Tahun 2023 juncto Nomor 8 Tahun 2024. Bentuk deregulasi lainnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga melahirkan delapan permendag baru yang spesifik mengatur klaster komoditas impor.

Adapun rinciannya, yaitu Permendag Nomor 17 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Tekstil dan Produk Tekstil; Permendag Nomor 18 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Pertanian dan Peternakan; Permendag Nomor 19 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Garam dan Komoditas Perikanan; dan Permendag Nomor 20 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Bahan Kimia, Bahan Berbahaya, dan Bahan Tambang.

Kemudian, Permendag Nomor 21 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Elektronik dan Telematika; Permendag Nomor 22 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Industri Tertentu; Permendag Nomor 23 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Konsumsi; serta Permendag Nomor 24 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Dalam Keadaan Tidak Baru dan Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun.

Saat ini, kesembilan Permendag di atas, masih dalam tahap pengundangan dan akan berlaku efektif 60 hari setelah diundangkan.

10 komoditas dapat relaksasi

Sembilan permendag baru dibuat bukan hanya sekadar mengatur arus impor agar lebih rinci saja, tetapi juga secara resmi memilah mana jenis barang yang diprioritaskan dalam relaksasi dan mana yang tidak.

Setidaknya terdapat 10 komoditas yang mendapatkan relaksasi tersebut. Barang-barang ini masuk dalam empat kategori.

Pertama, bahan baku dan penolong Industri. Kelompok ini mencakup 29 harmonized system code (kode HS), yakni bahan baku plastik, bahan bakar lain, dan pupuk bersubsidi, yang sebelumnya dikenakan instrumen pembatasan impor berupa Persetujuan Impor (PI), kini tidak lagi dikenakan pembatasan.

Selain itu, komoditas bahan kimia tertentu; sakarin, siklamat, preparat bau-bauan mengandung alkohol; dan mutiara mendapat relaksasi melalui penghapusan instrumen pembatasan PI, sehingga hanya diperlukan Laporan Surveyor (LS) sebagai instrumen pembatasan.

Kedua, produk penunjang program nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG). Kelompok ini mencakup dua Kode HS untuk barang berupa nampan makanan (food tray) dari besi antikarat.

Menteri Perdagangan Budi Santoso menyebutkan bahwa alasan dibalik kemudahan impor nampan makanan adalah untuk memastikan kelancaran program MBG. Namun, ia memastikan bahwa industri dalam negeri tetap mendapat perlindungan dan ini sifatnya hanya sementara saja.

"Karena kan untuk kebutuhan dalam negeri, untuk mendukung program makan bergizi dan sebagainya, kan banyak dibutuhkan," ujar Budi beberapa waktu lalu.

Selanjutnya, pada kategori ketiga adalah produk industri berdaya saing seperti alas kaki serta sepeda roda dua dan roda tiga, yang terdiri dari 10 kode HS.

Kelompok terakhir adalah produk kehutanan. Dibandingkan dengan jenis barangnya, impor produk hutan adalah kategori yang paling banyak diberi relaksasi oleh pemerintah. Terdapat 441 kode HS yang tidak lagi memerlukan persetujuan impor (PI) dari Kementerian Perdagangan.

Sebagai gantinya, produk kehutanan ini tetap wajib disertai dengan deklarasi impor (DI) dari Kementerian Kehutanan guna menjaga ketelusuran dan legalitas kayu.

Langkah yang diambil pemerintah ini merupakan sebuah niatan yang positif. Apalagi sebelumnya Permendag 8 sempat menuai protes lantaran menyulitkan pelaku usaha untuk mendapatkan beberapa bahan baku industri, yang tidak bisa diperoleh di Indonesia.

Deregulasi juga diyakini mampu mendorong daya saing industri dalam negeri, dan yang terpenting adalah menciptakan ekosistem yang pro pada penciptaan lapangan pekerjaan.

Di sisi lain, kebijakan ini berpotensi menjadi bumerang jika tanpa disertai dengan pengawasan dan pemetaan terhadap sektor industri dalam negeri. Pasalnya, dengan adanya 441 kode HS atau produk yang mendapat kemudahan, bisa jadi Indonesia justru dibanjiri barang-barang impor yang dapat membuat industri dalam negeri terperosok.

Penguatan regulasi

Pada dasarnya yang perlu diingat adalah bahwa relaksasi atau deregulasi impor ini bukanlah satu-satunya solusi untuk membuat industri dalam negeri berdaya saing. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan paket kebijakan lain guna mengatasi tantangan struktural pada industri nasional.

Persoalan yang dihadapi industri dalam negeri tidak semata pada perizinan atau regulasi, tetapi juga bagaimana Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor dan banjirnya barang jadi dari luar negeri. Ditambah lagi, adanya produk-produk yang masuk melalui jalur tikus atau ilegal.

Kehadiran barang impor ini akan menjadi ancaman jika yang masuk adalah barang jadi untuk konsumsi langsung. Contoh paling nyata dari gempuran impor barang konsumsi adalah tutupnya sejumlah industri tekstil dan alas kaki.

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi lantaran industri dalam negeri tidak lagi mampu bersaing dengan produk impor yang dijual dengan sangat murah. Industri lokal tak mau lagi berkompetisi karena adanya kesenjangan yang nyata pada biaya produksi dan harga jual.

Ekonom dari Policy and Program Director Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti) Piter Abdullah menyarankan bahwa kebijakan deregulasi impor harus diiringi dengan penguatan hukum guna menangkal masuknya barang impor ilegal.

Penguatan sistem pengawasan di lapangan menjadi hal yang paling penting untuk ditingkatkan, agar relaksasi tidak disalahgunakan.

Sebab, dalam menciptakan iklim usaha yang sehat dan kompetitif juga harus dibarengi dengan pemberantasan penyelundupan dan perbaikan sistem perizinan yang transparan.

Upaya pemerintah ini tetap patut mendapat acungan jempol, selama langkah tersebut memberi kemudahan bagi pelaku usaha dan mendorong daya saing. Namun begitu, pemerintah juga tetap perlu melibatkan pelaku industri lokal, akademisi, dan asosiasi untuk memastikan kebijakan ini benar-benar mendukung pertumbuhan industri nasional.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |