Jakarta (ANTARA) - Di tengah derasnya arus komunikasi digital yang tak mengenal batas, muncul sebuah paradoks yang semakin mengkhawatirkan tentang ruang publik yang seharusnya menjadi wadah dialog sehat, justru sering berubah menjadi arena perundungan.
Di media sosial, kebenaran dan adab sering kali tergeser oleh keinginan untuk menang argumen, mempermalukan lawan, atau sekadar menumpahkan emosi.
Dalam suasana seperti itu, munculnya figur-figur muda yang teguh memegang nilai kebangsaan dan keislaman menjadi ujian tersendiri, karena setiap langkah dan ucapan mereka mudah dijadikan sasaran.
Fenomena ini tidak sekadar soal perbedaan pandangan, melainkan tentang bagaimana bangsa ini memelihara kualitas ruang publik dan martabat kemanusiaan.
Ketika seorang pemuda, seperti Muhammad Ainul Yakin, Ketua GP Ansor DKI Jakarta, mendapat serangan opini dan perundungan di ruang digital, masyarakat sejatinya sedang dihadapkan pada pertanyaan yang lebih besar tentang apakah bangsa ini sedang kehilangan kemampuan untuk menghargai perbedaan di antara anak-anak terbaiknya?
Ainul Yakin memang bukan satu-satunya yang menghadapi situasi seperti ini. Banyak pemuda dengan semangat kebangsaan serupa juga kerap mengalami hal sama, dihujat, dicurigai, bahkan diserang karena pandangannya tidak sejalan dengan arus besar opini publik.
Padahal, justru dari keberanian berpikir berbeda inilah lahir ide-ide baru untuk kemajuan bangsa. Maka yang perlu bersama dilawan bukan perbedaan, melainkan budaya perundungan yang merendahkan martabat manusia dan mematikan nalar sehat.
Kepemimpinan dalam konteks seperti itu menuntut sesuatu yang lebih dari sekadar retorika atau popularitas. Dibutuhkan keteguhan moral dan keberanian untuk tetap berpegang pada nilai ketika tekanan datang dari berbagai arah.
Di sinilah makna sejati melawan perundungan yang bukan dengan membalas, tetapi dengan tetap berpikir jernih dan berbuat baik. Melawan perundungan berarti menolak ikut terbawa arus kebencian dan memilih jalur dialog yang beradab.
Pemimpin muda mana pun, termasuk Ainul Yakin, dapat menjadi simbol dari semangat itu, bukan karena ia sempurna, melainkan karena ia berusaha menjaga ruang publik agar tetap sehat dan produktif bagi semua.
Budaya perundungan terhadap tokoh muda seperti ini berpotensi merusak fondasi sosial masyarakat. Kritik dan perbedaan pendapat tentu diperlukan sebagai bagian dari dinamika demokrasi.
Hanya saja, ketika kritik berubah menjadi penghinaan, dan diskusi menjadi serangan pribadi, maka yang lahir bukanlah kemajuan, melainkan luka sosial yang menggerogoti rasa saling percaya.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































