Jakarta (ANTARA) - Kuasa hukum Menteri Pertanian (Mentan) Andri Amran Sulaiman, Chandra Muliawan, menyebut gugatan perdata Rp200 miliar terhadap Tempo bukan untuk membungkam kebebasan pers, melainkan untuk menegakkan etika jurnalistik dan menjaga martabat petani Indonesia.
Chandra, dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Jumat, mengatakan apabila gugatan tersebut dikabulkan, dana ganti rugi akan dikembalikan kepada publik melalui program-program strategis di sektor pertanian.
“Kalau gugatan ini dikabulkan, dana tersebut akan masuk ke kas negara dan digunakan untuk mendukung program pangan nasional, perbaikan irigasi, serta penyediaan pupuk. Jadi, manfaatnya kembali kepada rakyat, terutama petani,” kata dia.
Dia menjabarkan, nilai gugatan sebesar Rp200 miliar terdiri dari dua komponen, yakni kerugian material sekitar Rp19 juta dan kerugian imaterial sebesar Rp200 miliar.
Kerugian material, kata dia, mencakup biaya riil yang dikeluarkan Kementan untuk menangani persoalan pemberitaan, sementara kerugian imaterial mencakup nama baik, reputasi, dan rasa tidak nyaman akibat pemberitaan yang dinilai tidak akurat.
“Kerugian imaterial tidak bisa diukur dengan uang, tapi kami serahkan penilaiannya kepada majelis hakim,” katanya.
Menurut dia, langkah itu diambil bukan untuk kepentingan pribadi atau lembaga, melainkan untuk memulihkan nama baik dan kepercayaan publik terhadap petani dan pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan nasional.
Chandra menyebut pemberitaan yang dipersoalkan telah mencederai martabat 160 juta petani Indonesia yang selama ini berjuang menjaga ketahanan pangan bangsa.
Dia juga menepis tudingan gugatan Rp200 miliar untuk kepentingan pribadi Mentan. Menurut dia, Amran bahkan tidak pernah mengambil gajinya sebagai menteri dan kerap menggunakan kemampuan pribadinya untuk menjalankan urusan pemerintahan.
“Isu bahwa uang itu nanti untuk Pak Menteri itu keliru. Pak Menteri justru tidak pernah mengambil gaji jabatannya, bahkan di beberapa kesempatan beliau memakai dana pribadinya untuk mendukung kegiatan operasional di Kementerian. Jadi tidak mungkin ada kepentingan pribadi di sini,” ujarnya.
“Kalau pun gugatan ini dikabulkan, sesuai permintaan kami, uang itu disetorkan ke kas negara dan digunakan untuk rakyat, terutama untuk petani, untuk memperkuat program pertanian nasional,” sambung Chandra.
Dijelaskannya, gugatan ini tidak diarahkan pada isi pemberitaan Tempo karena substansi berita tersebut sudah dinyatakan melanggar kode etik jurnalistik oleh Dewan Pers melalui Penilaian dan Rekomendasi (PPR) yang telah dikeluarkan.
Menurut dia, masalah muncul karena Tempo tidak menjalankan PPR itu secara utuh dan itikad baik.
Dalam PPR tersebut, tuturnya, terdapat kewajiban bagi Tempo untuk mengubah judul pada poster dan motion graphic agar sesuai dengan isi artikel utama. Namun, ia menilai, perubahan yang dilakukan tidak mencerminkan substansi pemberitaan sebenarnya.
Ia mencontohkan motion graphic yang menampilkan tumpukan karung beras berlubang dengan gambar hewan di atasnya, seolah menggambarkan bahwa beras hasil serapan pemerintah busuk atau rusak. “Itu tidak sesuai dengan kenyataan dan jelas mencederai kerja keras petani, penyuluh, serta pemerintah dalam menjaga ketersediaan pangan nasional,” katanya.
Chandra pun menyebut langkah hukum ini diambil setelah seluruh mekanisme etik ditempuh melalui Dewan Pers.
“Ini bukan ujug-ujug menggugat. Proses etik sudah dijalankan sepenuhnya, tetapi karena keputusan Dewan Pers tidak dilaksanakan secara jujur dan profesional, kami menempuh jalur hukum agar perkara ini dinilai secara objektif dan terbuka,” katanya.
Ia pun mengatakan langkah tersebut menjadi bentuk dukungan terhadap kebebasan pers yang profesional dan bertanggung jawab. “Kami ingin pers bebas, tapi juga taat pada etika karena kebebasan tanpa etika bukan kebebasan, melainkan kekacauan informasi,” ujarnya.
Diketahui, Mentan Amran menggugat Tempo secara perdata ihwal poster “Poles-Poles Beras Busuk”. Saat ini, perkara tersebut tengah bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Tempo Setri Yasra, dalam keterangan tertulisnya, mengatakan, “Gugatan Mentan Amran Sulaiman memang mencemaskan karena akan jadi preseden ke depan bagaimana publik dan pejabat publik melihat dan berhubungan dengan media.”
Menurut dia, masih ada pejabat publik yang belum sepenuhnya memahami esensi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bahkan setelah hampir tiga dekade Indonesia memilikinya.
“Mentan seharusnya memakai mekanisme sengketa pers di Dewan Pers jika tidak puas dengan sebuah pemberitaan. Begitu ia memakai mekanisme hukum lewat pengadilan, bukan hanya kebebasan pers yang terancam, tapi ketakutan bredel gaya baru yang akan meluas,” tuturnya.
Pers, imbuh dia, tidak luput dari kesalahan. UU Pers telah mengatur ketidakpuasan dan kekeliruan media melalui mekanisme sengketa di Dewan Pers sehingga, menurut dia, sengketa pers harusnya diselesaikan melalui mekanisme dimaksud.
“Saya kira, Indonesia termasuk maju dalam memperlakukan pers di era demokrasi dengan keberadaan Dewan Pers. Di sanalah, semestinya, sengketa pers diselesaikan. Di sana pula media belajar untuk terus dewasa dan bertanggung jawab,” ucap Setri Yasra.
Baca juga: Bareskrim periksa sopir ojol dalam kasus dugaan teror di Tempo
Baca juga: Ketua DPR minta aparat usut tuntas kasus teror paket ke Kantor Tempo
Baca juga: Bareskrim pastikan penyelidikan dugaan teror di Tempo sedang berjalan
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































