Jakarta (ANTARA) - Belakangan ini, media sosial diramaikan kembali oleh pembahasan kasus Junko Furuta, seorang gadis Jepang yang menjadi korban kekerasan dan pembunuhan paling brutal dalam sejarah kriminal Negeri Sakura.
Kasus yang terjadi lebih dari tiga dekade lalu ini mencuat kembali setelah YouTuber horor Indonesia, Nessie Judge, menampilkan foto Junko sebagai dekorasi dalam videonya bersama grup K-Pop NCT Dream.
Penggunaan foto tersebut memicu kemarahan warganet Jepang yang menilai tindakan itu tidak etis. Menyadari hal itu, Nessie kemudian meminta maaf secara terbuka dan menghapus video tersebut.
Namun, peristiwa itu kembali mengingatkan publik pada salah satu tragedi paling kelam dan menyayat hati di warga Jepang. Berikut kisah Junko Furuta melansir dari beberapa sumber.
Junko Furuta lahir pada 18 Januari 1971 di Misato, Prefektur Saitama. Ia dikenal sebagai siswi berprestasi di SMA Yashio-Minam, cerdas, sopan, dan disukai banyak teman. Di usia 17 tahun, ia juga bekerja paruh waktu untuk membantu keuangan keluarga.
Namun, pada malam 25 November 1988, hidup Junko berubah selamanya.
Saat pulang bersepeda dari tempat kerja, ia menjadi target dua remaja laki-laki, Hiroshi Miyano (18) dan Shinji Minato (16), yang sedang mencari korban untuk dilecehkan.
Miyano dikenal memiliki hubungan dengan Yakuza, organisasi kejahatan terorganisir di Jepang.
Melihat Junko melintas, keduanya bersekongkol. Minato menendang sepeda Junko hingga jatuh, sementara Miyano berpura-pura menolong dan menawarkan untuk mengantarnya pulang.
Namun, alih-alih dibawa ke rumah, Junko justru diculik dan dibawa ke sebuah gudang, tempat ia pertama kali diperkosa di bawah ancaman kekerasan.
Aksi itu kemudian berlanjut. Miyano memanggil dua temannya, Jo Ogura (17) dan Yasushi Watanabe (17), untuk ikut melakukan kekerasan terhadap Junko.
Sejak saat itu, Junko menjadi tawanan di rumah keluarga Minato di Distrik Adachi, Tokyo, dan disiksa selama lebih dari 40-44 hari.
Orang tua Junko sempat melapor ke polisi setelah putrinya tak pulang ke rumah. Namun, laporan itu tidak ditindaklanjuti karena Junko dipaksa menelepon orang tuanya dan mengatakan bahwa ia kabur dan tinggal di rumah teman. Polisi pun menghentikan pencarian.
Selama dalam penyekapan, Junko mengalami siksaan tak terbayangkan. Ia dipukuli, diperkosa berkali-kali, bahkan dipaksa melayani teman-teman pelaku dan anggota Yakuza lainnya.
Berbagai benda seperti batang besi, tusuk sate, dan bola lampu dimasukkan ke tubuhnya hingga menyebabkan luka serius dan infeksi parah.
Junko juga dipaksa makan kecoak, tidur di balkon saat musim dingin, dan digantung di langit-langit rumah untuk dijadikan samsak tinju.
Luka di tubuhnya menyebabkan pendarahan hebat, kerusakan organ, dan infeksi bernanah. Namun para pelaku terus menyiksanya tanpa belas kasihan.
Meski beberapa tetangga dan keluarga Minato mengetahui adanya gadis yang ditawan, mereka memilih diam karena takut terhadap Yakuza. Dalam kesaksiannya, diketahui Junko diperkosa lebih dari 400 kali selama masa penyekapan.
Upaya polisi untuk memeriksa rumah pelaku pun sempat terjadi, tetapi pemeriksaan dibatalkan tanpa alasan jelas.
Junko juga sempat mencoba menelepon polisi, namun aksinya diketahui pelaku dan ia kembali disiksa hingga tak sadarkan diri.
Penderitaan itu berakhir tragis pada 4 Januari 1989, ketika Miyano dan kawan-kawannya menantang Junko bermain mahjong.
Saat Junko menang, mereka marah besar. Ia disiram cairan korek api, dibakar, dan dipukuli hingga meninggal dunia.
Usai membunuh Junko, para pelaku memasukkan jasadnya ke dalam drum logam berukuran 55 galon, mengisinya dengan beton, lalu membuangnya di lahan kosong di Wakasu, Distrik Koto, Tokyo. Mereka berharap perbuatan keji itu tak akan terungkap.
Namun beberapa minggu kemudian, pada Januari 1989, dua di antara pelaku ditangkap polisi atas kasus penculikan dan penyerangan terhadap perempuan lain.
Saat diinterogasi, mereka tak sengaja mengungkapkan keberadaan drum berisi jasad Junko. Polisi menemukan drum tersebut pada 30 Maret 1989, dan dua pelaku lainnya segera ditangkap.
Sidang kasus dimulai pada 31 Juli 1989 di Pengadilan Pidana Distrik Tokyo. Identitas para pelaku dilindungi karena mereka masih di bawah umur, sementara nama Junko tidak disembunyikan.
Perlakuan hukum yang dianggap tidak adil ini memicu kemarahan publik Jepang.
Hakim menjatuhkan hukuman maksimal 20 tahun penjara untuk Hiroshi Miyano, sedangkan tiga pelaku lainnya mendapat vonis antara 5 hingga 9 tahun di penjara anak.
Mereka tidak dihukum atas pembunuhan berencana, melainkan hanya dianggap “menyebabkan cedera fisik yang berakibat kematian”.
Vonis tersebut dinilai terlalu ringan dan menyakiti perasaan keluarga korban. Banyak masyarakat Jepang yang menganggap sistem hukum gagal memberikan keadilan bagi Junko Furuta.
Hingga kini, kasus itu masih dikenang sebagai salah satu kejahatan paling kejam dan memilukan dalam sejarah Jepang.
Baca juga: BOJ peringatkan pemulihan rapuh, isyaratkan bunga rendah berkelanjutan
Baca juga: Nessie Judge suarakan gerakan penuh dukung Palestina
Baca juga: Polisi tembak pelaku pemerkosaan
Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































