Jakarta (ANTARA) - Peneliti di Indonesia Digital Cyber Institute (IDCI) Taufiq A. Gani mengajak pemerintah, akademisi, media, pelaku industri, dan masyarakat umum bersatu membangun kesadaran bersama bahwa pertahanan bangsa bukan hanya soal tanah atau data, melainkan juga soal kedaulatan pikiran menghadapi gempuran algoritma global di media sosial.
"Kedaulatan sejati adalah ketika bangsa ini mampu berpikir dengan cara sendiri. Pada era digital, mempertahankan pikiran adalah bentuk tertinggi dari mempertahankan kemerdekaan," kata Taufiq dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
IDCI menilai pendekatan literasi digital saat ini masih terlalu teknis dan sektoral. Literasi bukan sekadar kemampuan mengakses informasi, melainkan kemampuan membangun sistem imun berpikir sehingga perlu doktrin kebangsaan yang menempatkan kesadaran publik sebagai wilayah strategis yang harus dijaga.
"Ini bukan sekadar soal literasi, melainkan soal kedaulatan. Bangsa yang tidak mampu mengelola cara berpikirnya akan mudah diarahkan oleh narasi yang dibentuk di luar dirinya," tegas Taufiq.
Taufiq menyebutkan sejumlah kajian independen, termasuk tulisan Asma Mir di platform Medium yang berjudul How Social Media Algorithms Shape Our Reality, mengungkap bahwa algoritma media sosial kini telah menjadi arsitek realitas pribadi.
Dengan menyaring konten berdasarkan preferensi dan emosi pengguna, kata dia, algoritma menciptakan ruang gema digital (echo chamber) yang memperkuat bias, memicu polarisasi, dan mempercepat penyebaran disinformasi.
"Konten provokatif dan emosional cenderung lebih viral ketimbang konten faktual. Inilah yang menciptakan ketimpangan informasi dan kesan palsu bahwa semua orang berpikir seperti kita," tulis Mir.
Laporan Digital 2025 Global Overview Report yang dirilis oleh We Are Social dan Meltwater pada Februari 2025 mencatat bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan rata-rata 7 jam 22 menit per hari di internet.
Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-17 dunia, bahkan termasuk dalam lima besar tertinggi di Asia Tenggara.
Sebagai pembanding, negara-negara maju seperti Amerika Serikat (6 jam 40 menit), Inggris (5 jam 36 menit), Jerman (5 jam 28 menit), Korea Selatan (5 jam 22 menit), dan Jepang (4 jam 09 menit) memiliki durasi paparan internet harian yang jauh lebih rendah.
Baca juga: IDCI: Perlunya Lembaga PDP sebagai komitmen negara lindungi data
Baca juga: IDCI sebut TNI harus ambil peran besar dalam perkuat pertahanan siber
"Proporsi waktu kita di ruang siber kini hampir seimbang dengan waktu tidur dan hidup di dunia fisik. Ini bukan hanya perubahan gaya hidup, melainkan juga pembentukan ruang kesadaran baru, ruang pikir, ruang identitas, dan ruang interaksi," ujar Taufiq.
Menurut IDCI, tingginya keterpaparan digital masyarakat Indonesia tidak diimbangi dengan sistem proteksi kesadaran kolektif. Ketika opini publik dibentuk oleh algoritma yang dirancang berdasarkan logika keterlibatan dan keuntungan, ruang kesadaran bangsa dapat dengan mudah dikendalikan oleh pihak luar.
"Kita terlalu lama berkutat pada pengamanan data dan infrastruktur. Sementara itu, arsitektur berpikir masyarakat tengah digiring oleh sistem yang tak kita rancang, tak kita kendalikan," lanjut Taufiq.
IDCI menilai dominasi semacam ini mengancam keragaman berpikir, memperlemah kemampuan masyarakat untuk berdialog lintas pandangan, dan pada akhirnya dapat melemahkan fondasi demokrasi serta kohesi sosial.
IDCI lantas mengusulkan empat pilar utama untuk membangun sistem pertahanan kognitif bangsa:
1. Kapasitas Naratif Nasional: Membangun kemampuan bangsa untuk menyusun dan menyebarluaskan narasi tentang dirinya secara utuh, jujur, dan bermartabat.
2. Infrastruktur Konten Strategis: Memperkuat ekosistem media, budaya, dan edukasi digital yang mampu membentuk kesadaran kritis dan identitas kebangsaan.
3. Regulasi atas Arsitektur Algoritma: Negara harus hadir dalam tata kelola sistem distribusi informasi agar tidak sepenuhnya dikendalikan oleh logika pasar dan kepentingan asing.
4. Lembaga Pemantau Kesadaran Publik: Membangun sistem pemantauan terhadap arah opini publik, polarisasi, dan disinformasi sebagai bagian dari sistem pertahanan nasional.
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025