Jakarta (ANTARA) - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menekankan pentingnya literasi digital untuk menangkal Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian (DFK), agar informasi yang diterima masyarakat benar-benar fakta, bukan tontonan semata.
Hasan, dalam diskusi PCO Goes to Campus di Audiotorium Univevrsitas Al Azhar Indonesia, Jakarta, Senin, menyatakan cara menangkal DFK antara lain melalui sinergi semua pihak untuk bersama-sama skeptis dengan setiap informasi, menguatkan literasi dan menjauhkan emosi, serta membangun kesadaran kritis.
"Pemerintah tidak sanggup kalau hanya menangani ini sendiri, karena yang jadi pelaku jumlahnya ratusan juta. Butuh ada masyarakat, kelompok masyarakat yang punya kesadaran yang sama bahwa DFK itu tidak boleh, bahwa DFK itu menghancurkan bangsa," katanya.
Dalam agenda bertajuk “Literasi Digital dan Tanggung Jawab Intelektual, Sinergi Pemerintah dan Kampus Menangkal DFK" itu, Hasan mendorong media, kantor-kantor pemerintah, organisasi masyarakat untuk membuat cek fakta.
Hasan mengatakan, cek fakta mungkin akan menimbulkan kegaduhan, sebab bisa jadi pihak yang disebut menyebar hoax akan marah.
“Tapi cek fakta ini harus dilakukan sebanyak mungkin orang, supaya kita bisa menjaga akurasi. Pasti berisik, tapi lama kelamaan kita akan terbiasa,” katanya.
Baca juga: Literasi digital kunci penguatan akses terhadap informasi publik
Baca juga: Kemkomdigi: PP Tunas jadi literasi digital penggunaan medsos oleh anak
Dia mengibaratkan satu berita DFK seperti satu ekor burung/hama pemakan padi atau jagung.
“Kalau satu burung saja enggak akan habis padi atau jagung, tetapi kalau DFK-nya banyak, satu rombongan besar burung yang datang ke sawah atau ke ladang jagung, itu hasil kerja keras petani akan habis,” ujar Hasan.
Demikian halnya dengan kebenaran-kebenaran objektif akan habis jika dibiarkan DFK merajalela karena ada ratusan juta yang terlibat dalam proses ini, kata Hasan menambahkan.
Hasan menjelaskan, cek fakta diharapkan bisa menyadarkan publik yang saat ini sering disuguhi beragam informasi yang bersifat tontonan, sehingga batas-batas antara kebenaran dan tontonan menjadi kabur.
”Seorang filsuf dan sosiolog dari Prancis Jean Baudrillard menyebutnya dengan konsep simulakra. Dunia simulasi atau dunia tontonan,” kata Hasan.
Dikatakan Hasan, ada tiga tingkatan simulakra. Tingkat representasi; informasi yang masih berhubungan dengan dunia nyata, tingkat distorsi realitas; objek sudah kehilangan transendensi akibat revolusi teknologi, dan tingkat hiper realitas; ketika, tanda, citra, dan simbol tidak lagi menggambarkan realita, bahkan menggantikan realita.
Baca juga: Kemkomdigi perkuat 4 pilar literasi digital jaga ruang siber kondusif
Baca juga: Pemkot Jaksel edukasi literasi digital untuk permudah kelola informasi
Terkait upaya menangkal DFK, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Asep Saefuddin mendukung program PCO melakukan sosialisasi ke kampus-kampus tentang literasi digital untuk menangkal DFK.
“Kami menyambut acara PCO Goes to Campus ini karena tidak semua informasi itu bermanfaat. Ada yang hoax, ada yang fake. Literasi digital penting untuk membedakan informasi yang benar dan hoax yang akan membahayakan kita sendiri dan masyarakat," katanya.
Menurut Asep, PCO sangat penting sebagai garda depan informasi pemerintah agar masyarakat tidak terbawa arus informasi yang membuat mereka terpecah belah.
Salah satu mahasiswi jurusan komunikasi setempat, Azzahra Nayla Ramadhani, berharap PCO bisa terus menggelar acara seperti ini di banyak kampus.
“Menurut saya ini bagus karena ada interaksi dengan perwakilan pemerintah. Karena selama ini, banyak pandangan kurang positif dari masyarakat kepada pemerintah,” ujarnya.
Baca juga: "Oversharing" di media sosial berisiko merugikan orang lain
Baca juga: Wamenkomdigi minta sekolah perkuat literasi digital anak di Papua
Baca juga: Menko PMK titip literasi digital dan AI secara bijak kepada UT
Pewarta: Andi Firdaus, Genta Tenri Mawangi
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.