Brussel (ANTARA) - Sejumlah pemerintah Eropa pada Minggu (22/6) menyuarakan keprihatinan atas serangan udara Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklir Iran, seraya mendesak semua pihak untuk memprioritaskan diplomasi dan menghindari eskalasi lebih lanjut.
Beberapa pejabat mengkritik tindakan AS sebagai "serangan yang melanggar hukum."
Serangan AS yang menargetkan sejumlah situs nuklir utama Iran pada Sabtu (21/6) kian mengacaukan lanskap yang sudah tidak stabil. Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) Rafael Grossi mengonfirmasi kerusakan tersebut dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Minggu, tetapi mengatakan bahwa badan tersebut belum dapat menilai tingkat kerusakannya.
Grossi menekankan pentingnya diplomasi dalam mengakhiri permusuhan dan mengizinkan IAEA untuk melanjutkan kegiatan verifikasinya di Iran. "Kita harus mengizinkan para inspektur IAEA untuk kembali. IAEA siap untuk memainkan perannya yang sangat penting dalam proses ini ... Kita harus bekerja untuk mewujudkan perdamaian," katanya.

Di Swedia, Perdana Menteri (PM) Ulf Kristersson mendesak deeskalasi. Lewat unggahan di platform media sosial X, dia menekankan pentingnya menghentikan lingkaran kekerasan yang tak terkendali di Timur Tengah. "Deeskalasi, menahan diri, dan kembali ke perundingan serta diplomasi adalah hal yang sangat penting," tulisnya.
Di Finlandia, Presiden Alexander Stubb menggambarkan serangan AS memiliki "skala yang luar biasa" dan memperingatkan bahwa siklus balas dendam di kawasan tersebut harus segera diakhiri. "Solusi yang berkelanjutan membutuhkan diplomasi, dialog, dan penghormatan terhadap hukum internasional," tulisnya di X.
Sementara itu PM Slovenia Robert Golob juga menyerukan agar perundingan diplomatik kembali dilakukan. Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Minggu, dia menekankan bahwa kekerasan dan konflik militer yang terus berlanjut hanya akan membawa penderitaan lebih lanjut kepada warga sipil yang tidak bersalah.
Senada dengan sikap Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, dia menegaskan kembali bahwa perdamaian dan diplomasi merupakan satu-satunya jalan yang dapat ditempuh.
Kementerian Luar Negeri Slovenia menegaskan kembali posisi ini, menyatakan keprihatinan mendalam atas meningkatnya ketegangan dan memperingatkan bahwa permusuhan lebih lanjut dapat merusak perdamaian dan keamanan internasional serta membahayakan kehidupan warga sipil.
"Diplomasi dan dialog harus diutamakan, dan perang harus dihindari," kata kementerian tersebut, seraya menegaskan kembali dukungannya terhadap Piagam PBB.

Sementara itu, Partai Kiri, partai anggota koalisi yang berkuasa di Slovenia, mengutuk tindakan AS tersebut sebagai tindakan eskalasi yang berbahaya dan tidak bertanggung jawab. Partai itu mengkritik serangan tersebut karena tidak memiliki mandat PBB dan memperingatkan bahwa hal tersebut dapat mendorong kawasan itu dan dunia ke arah konflik yang lebih luas.
Partai Kiri meminta pemerintah Slovenia untuk meminta pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB serta mendesak Uni Eropa (UE) dan masyarakat internasional yang lebih luas untuk mengutuk serangan tersebut sebagai "serangan yang melanggar hukum".
Presiden Latvia Edgars Rinkevics menekankan perlunya semua pihak untuk kembali berunding guna mencapai solusi diplomatik, sementara Menteri Luar Negeri Slovakia Juraj Blanar mengutuk serangan AS tersebut.
"Tidak dapat diterima bagi negara mana pun untuk melakukan operasi militer di wilayah negara lain yang berdaulat," kata Blanar. Dalam unggahan di media sosial, dia menekankan bahwa setiap konflik harus diselesaikan melalui PBB, bukan melalui senjata.

Di Estonia, Menteri Luar Negeri Margus Tsahkna mengatakan kepada media setempat bahwa "sangat penting agar situasi tidak memanas menjadi konflik yang lebih luas di kawasan tersebut dan bahwa perlindungan warga sipil tetap menjadi prioritas bagi semua pihak."
Dia menyerukan upaya kolektif internasional untuk memastikan keamanan jangka panjang di kawasan tersebut.
Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.