Brussel (ANTARA) - Lima negara Eropa tambahan mengumumkan pengakuan mereka atas Negara Palestina pada Senin (22/9) dalam sesi tingkat tinggi Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly/UNGA) ke-80.
Berikut hal-hal yang perlu diketahui terkait perkembangan terbaru tersebut.
Siapa saja yang baru mengakui Palestina?
Prancis, yang turut memimpin pertemuan tingkat tinggi untuk mendukung solusi dua negara di PBB, menjadi negara besar Eropa teranyar yang secara resmi mengakui Negara Palestina, sekaligus memenuhi komitmen yang telah diisyaratkan dalam beberapa bulan terakhir.
Dalam pidatonya di PBB, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan, "Masa perdamaian telah tiba. Kita harus melakukan segala upaya untuk menjaga kemungkinan terwujudnya solusi dua negara."
Belgia, Luksemburg, Malta, dan Monako juga mengumumkan pengakuan mereka atas Palestina dalam pertemuan itu.
Menjelang pertemuan tingkat tinggi PBB tersebut, Inggris dan Portugal, bersama dengan Australia dan Kanada, telah mengakui Negara Palestina pada Minggu (21/9).
Sejauh ini, lebih dari 150 negara anggota PBB telah mengakui Negara Palestina.

Mengapa semakin banyak Negara Eropa mengakui Negara Palestina? Bagaimana reaksi Israel?
Aksi militer Israel yang terus berlanjut di Gaza, memburuknya situasi kemanusiaan, dan aksi kekerasan yang semakin meningkat oleh para pemukim di Tepi Barat diyakini menjadi faktor utama yang mendorong semakin banyak negara Eropa mengakui Negara Palestina.
Faruk Boric, analis politik asal Sarajevo, menyampaikan kepada Xinhua bahwa penderitaan warga sipil yang berkepanjangan di Gaza telah meninggalkan kesan getir, dan keragu-raguan negara-negara Barat untuk bertindak telah melemahkan kemampuan mereka dalam mengklaim nilai-nilai universal dan otoritas moral.
Kecaman publik terhadap aksi militer Israel telah mengguncang iklim politik di sejumlah negara besar Eropa seperti Inggris dan Prancis, di mana aksi unjuk rasa besar-besaran diselenggarakan secara rutin dalam beberapa bulan terakhir.
Sejarawan Prancis Thomas Maineult menuturkan kepada media bahwa bencana kemanusiaan mempercepat proses pengambilan keputusan para pemimpin sebagai bentuk respons terhadap rakyat mereka.
Sementara itu, menurut sejumlah analis Prancis, pengakuan Negara Palestina juga mencerminkan upaya Eropa untuk mewujudkan "otonomi strategis", sebuah prinsip yang secara konsisten dipromosikan oleh negara-negara besar Eropa di Uni Eropa (UE) dan NATO.
Sejumlah pakar militer memandang pengakuan tersebut sebagai sebuah sinyal bahwa negara-negara seperti Prancis berupaya menempatkan dirinya kembali sebagai mediator politik dan militer dalam menata ulang Timur Tengah.

Bagaimana reaksi Israel?
Perwakilan Tetap Israel untuk PBB Danny Danon memperingatkan bahwa Israel akan terus melanjutkan operasi militernya. "Mereka tidak mempromosikan perdamaian. Mereka mendukung terorisme," ujarnya.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Minggu mengirim pesan tegas dalam menanggapi pengakuan dari Inggris, Australia, dan Kanada tersebut, dengan mengatakan, "Tidak akan terjadi. Tidak akan ada Negara Palestina di sebelah barat (Sungai) Yordan."
Netanyahu dijadwalkan akan berpidato di PBB pada Jumat (26/9) dan menuturkan bahwa tanggapan lebih lanjut perihal putaran tindakan diplomatik terbaru tersebut akan diumumkan setelah dirinya kembali ke Israel.
Menurut harian Politico, Israel kemungkinan akan fokus pada pembangunan lebih banyak permukiman dan memperluas area kendali militer di Tepi Barat. Beberapa menteri Netanyahu juga menyerukan aneksasi penuh atas Tepi Barat.

Apa hal selanjutnya
Gelombang baru pengakuan terhadap Negara Palestina sebagian besar dipandang sebagai hal yang simbolis dan kemungkinan tidak akan langsung berdampak pada realitas di lapangan, mengingat Majelis Umum PBB hanya dapat memberikan status keanggotaan penuh dengan persetujuan Dewan Keamanan, sebuah langkah yang berpotensi besar akan diveto oleh Amerika Serikat (AS).
Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt menuturkan bahwa Presiden AS Donald Trump yakin pengakuan atas Negara Palestina tidak akan membantu mengakhiri konflik dan perang. "Dia memandangnya sebagai hadiah untuk Hamas," ujar Leavitt.
Royal United Services Institute (RUSI) yang berbasis di London melontarkan pendapat bahwa pengakuan itu memperkuat posisi diplomatik Palestina dengan memperlakukan status negara sebagai titik awal perundingan, bukan sebagai hadiah di akhir perundingan.
Konsekuensi lainnya adalah semakin dalamnya perpecahan antara AS dan sekutu-sekutu tradisionalnya di Eropa. Wadah pemikir German Marshall Fund of the United States (GMF) menyatakan bahwa perbedaan transatlantik yang jelas terkait isu tersebut akan "hanya memperkuat tren negatif dalam sikap publik Eropa terhadap AS."
"Kita sedang menyaksikan perubahan aliansi, Israel dan AS berhadapan dengan sebagian besar negara Eropa," ujar Karim Amellal, mantan duta besar Prancis untuk urusan Mediterania, kepada Politico Europe. Dinamika saat ini akan semakin menggarisbawahi isolasi terhadap AS dan Israel, imbuhnya.

Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.