Jakarta (ANTARA) - Pemilik PT Lawu Agung Mining, Windu Aji Sutanto divonis bebas terkait kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil korupsi penjualan bijih nikel yang berasal dari wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) PT Antam Tbk., Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Hakim Ketua Sri Hartati menyatakan Majelis Hakim berpendapat perkara yang didakwakan kepada Windu Aji kali ini merupakan pengulangan perkara tindak pidana korupsi sebelumnya (ne bis in idem) yang telah diputus di tingkat kasasi dan telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.
"Menyatakan perkara terdakwa atas nama Windu Aji Sutanto ne bis in idem," ucap Hakim Ketua dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu.
Meski begitu, Hakim Ketua menyatakan Windu Aji tetap terbukti menggunakan hasil korupsi untuk membeli tiga mobil mewah menggunakan nama PT Lawu Agung Mining.
Windu Aji juga dinyatakan telah menerima uang dari penjualan nikel dengan total keseluruhan sebesar Rp1,7 miliar melalui rekening orang lain atas nama Supriono dan Opah Erlangga Pratama, yang keduanya merupakan karyawan office boy di Lawu Tower.
Hakim Ketua menyampaikan apabila dalam perkara TPPU memiliki dasar dan pokok perkara yang sama dengan tindak pidana asal di perkara tindak pidana korupsi serta semua bukti telah dipertimbangkan dan putusan terhadap perkara korupsi tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka perkara TPPU itu dapat dinyatakan asas ne bis in idem dan seluruhnya tidak bisa diperiksa kembali.
Ne bis in idem merupakan asas hukum yang berarti "tidak dua kali dalam hal yang sama" atau "tidak boleh dituntut dua kali untuk perbuatan yang sama".
"Asas ini merupakan perlindungan hukum bagi terdakwa untuk tidak dituntut dua kali atas perbuatan yang sama," ungkap Hakim Ketua.
Selain Windu Aji, Hakim Ketua turut menyatakan putusan ne bis in idem pada pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining, Glenn Ario Sudarto.
Sebelumnya, Windu Aji dan Glenn Ario dituntut agar dinyatakan terbukti secara sah sebagai orang yang melakukan dan turut serta melakukan perbuatan menempatkan, mengalihkan, mentransfer, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, atau mengubah bentuk harta kekayaan yang patut diduga sebagai hasil perbuatan pidana.
Dengan demikian, Windu Aji dituntut pidana penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan dalam kasus tersebut.
Sementara Glenn Ario dituntut agar dikenakan pidana penjara selama 5 tahun, dengan pidana denda yang sama, yakni sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Atas perbuatan keduanya, Windu Aji dan Glenn Ario diyakini telah melanggar Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP).
Dalam kasus itu, Windu Aji didakwa melakukan TPPU dari hasil korupsi penjualan bijih nikel yang berasal dari Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Antam Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Windu Aji menggunakan uang rasuah itu untuk membeli satu unit mobil Toyota Land Cruiser, satu unit Mercedes Benz Maybach, dan satu unit mobil Toyota Alphard, serta menerima uang Rp1,7 miliar.
Sementara Glenn Ario, yang hanya selaku pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining, didakwa justru lebih aktif berperan dalam penambangan bijih nikel hingga melakukan pengangkutan dan penjualan.
Hasil penambangan bijih nikel yang dilakukan PT Lawu Agung Mining pada lahan Antam seharusnya diserahkan kepada Antam, serta tidak dapat dilakukan pengangkutan dan penjualan ke pihak lain, tetapi Glenn diduga membeli dokumen PT Kabaena Kromit Pratama (KKP) dan dokumen PT Tristaco Mineral Makmur (TTM) dengan harga antara 3–5 dolar AS per metrik ton sehingga seolah-olah bijih nikel tersebut berasal dari WIUP PT KKP dan PT TMM dan dapat dijual ke pihak lain.
Windu Aji dan Glenn Ario telah divonis dalam kasus korupsi penjualan bijih nikel tersebut. Berdasarkan putusan tingkat kasasi, Windu Aji divonis 10 penjara dan Glenn Ario divonis 7 tahun penjara, serta denda masing-masing sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.