Edukasi bahaya seks bebas digencarkan cegah kehamilan sebelum 19 tahun

3 hours ago 3

Jakarta (ANTARA) - Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Semarang, Jawa Tengah, Lilik Faridah mengatakan edukasi bahaya seks bebas terus digencarkan untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan di usia kurang dari 19 tahun.

"Kalau secara data, kami sih mencoba menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan di usia kurang dari 19 tahun," katanya saat ditemui di Semarang, Rabu.

Lilik mengemukakan, pihaknya secara masif datang ke sekolah-sekolah untuk mengedukasi para remaja tentang kesehatan reproduksi melalui pendewasaan usia perkawinan.

"Wadah yang kami pilih pertama untuk lebih memasifkan bahaya seks bebas, pendewasaan usia pernikahan, dan bahaya narkoba itu kita masuk lewat sekolah-sekolah. Ada Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R), ada Generasi berencana (Genre) go to school, Pelayanan dan Edukasi Kesehatan Terpadu Pelajar Kota Semarang (Piter Pan), macam-macam inovasi yang ada di sini," ujar dia.

Lilik menegaskan, pihaknya terus memberikan edukasi sekaligus memberikan contoh terkait kesehatan reproduksi dengan menunjukkan kasus-kasus nyata bahaya hubungan seksual di luar pernikahan.

Baca juga: Dokter: Hamil usia terlalu muda berisiko preeklamsia

"Contoh bahayanya misalkan kasus HIV/AIDS di Kota Semarang didominasi oleh remaja berapa persen, kasusnya kita tunjukkan fotonya, kemudian dampak-dampak penyakit-penyakit yang kita berikan langsung kepada anak-anak supaya mereka itu langsung melihat, oh ternyata ini lho, efeknya, jadi tidak hanya teori saja, tetapi betul-betul kasusnya kita juga tampilkan," tuturnya.

Berdasarkan laporan dari United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia pada tahun 2023, remaja berusia 15–24 tahun yang belum menikah kini menunjukkan peningkatan aktivitas seksual. Pada tahun 2012, hanya 0,9 persen remaja perempuan dan 7 persen remaja laki-laki yang dilaporkan aktif secara seksual. Namun, pada 2015, angka tersebut naik menjadi 2,3 persen perempuan dan 7,3 persen laki-laki.

Sejumlah penelitian terkini bahkan mengindikasikan bahwa angka sebenarnya kemungkinan lebih tinggi dari yang tercatat.

Sayangnya, hanya 14,1 persen remaja yang aktif secara seksual menggunakan alat kontrasepsi. Pengetahuan mengenai layanan kesehatan reproduksi juga masih terbatas, hanya 22 persen remaja usia 15–19 tahun yang tahu di mana bisa mengakses layanan tersebut, dan kurang dari 5 persen yang benar-benar pernah memanfaatkannya.

Keterbatasan akses informasi dan layanan kesehatan reproduksi ini meningkatkan risiko kehamilan tidak diinginkan, penyakit menular seksual, serta berbagai dampak sosial dan ekonomi lainnya.

Ketidaktahuan ini diperparah oleh budaya tabu yang membuat diskusi tentang seksualitas dan tubuh dianggap memalukan. Akibatnya, remaja sering kali mencari jawaban dari sumber tidak terpercaya baik dari teman sebaya, media sosial, bahkan mitos yang beredar turun-temurun.

Baca juga: Cegah kehamilan tak diinginkan, remaja perlu diedukasi gunakan medsos
Baca juga: BKKBN: Prinsip pemberian kontrasepsi cegah kehamilan di bawah 20 tahun

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |