Mataram (ANTARA) - Kemiskinan jarang hadir sebagai angka yang berdiri sendiri. Ia berwujud dalam rumah tangga yang bertahan dari musim ke musim tanpa kepastian, dalam pekerjaan yang tak pernah benar-benar mapan, dan dalam desa-desa yang terus menjadi lokasi paling awal sekaligus paling lama menanggung dampak ketimpangan pembangunan.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), wajah kemiskinan itu masih terasa nyata, terutama di desa-desa dengan kategori miskin ekstrem.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan kemiskinan di NTB tidak hanya soal jumlah, tetapi juga kedalaman dan keparahannya. Masalah ini berlapis, saling bertaut antara keterbatasan akses, lemahnya mata pencaharian, rendahnya kualitas layanan dasar, dan rapuhnya perlindungan sosial.
Dalam konteks inilah, peluncuran Program Desa Berdaya menjadi penting untuk ditelaah. Bukan sekadar sebagai kebijakan baru, tetapi sebagai penanda perubahan pendekatan pembangunan.
Desa Berdaya diperkenalkan sebagai Program Unggulan Pemerintah Provinsi NTB di bawah kepemimpinan Gubernur Lalu Muhammad Iqbal. Program ini menempatkan desa sebagai subjek, bukan objek pembangunan.
Bukan lagi sekadar penerima bantuan, tetapi ruang tumbuh bagi kemandirian sosial dan ekonomi. Pendekatan ini terasa relevan, mengingat sebagian besar penduduk miskin ekstrem bermukim di wilayah perdesaan.
Namun, kebijakan besar selalu membawa pertanyaan mendasar. Sejauh mana Desa Berdaya mampu menjawab persoalan struktural yang selama ini membuat kemiskinan sulit diputus.
Apakah ia cukup kuat untuk bergerak melampaui seremoni dan jargon, atau justru berisiko mengulang pola lama dengan wajah baru.
Graduasi
Yang membedakan Desa Berdaya dari banyak program sebelumnya adalah pilihan pendekatannya. Alih-alih menambah daftar bantuan, program ini mengusung model graduasi.
Sebuah proses bertahap yang memastikan rumah tangga miskin ekstrem benar-benar keluar dari kemiskinan secara berkelanjutan. Bukan hanya menerima, tetapi tumbuh.
Pada tahap awal, Desa Berdaya menyasar 106 desa miskin ekstrem, dengan implementasi awal di 40 desa. Lebih dari 7.250 kepala keluarga atau sekitar 19.000 jiwa akan didampingi secara intensif selama dua tahun.
Pendampingan ini tidak tunggal, melainkan berbasis empat pilar: pemenuhan kebutuhan dasar, penguatan mata pencaharian, pemberdayaan sosial, dan inklusi keuangan.
Pilihan ini menunjukkan kesadaran bahwa kemiskinan tidak bisa ditangani secara sektoral. Rumah tangga miskin sering terjebak dalam lingkaran masalah yang saling memperkuat.
Tanpa pangan yang cukup, produktivitas rendah. Tanpa pekerjaan yang stabil, akses pendidikan dan kesehatan ikut terganggu. Tanpa literasi keuangan, setiap kenaikan pendapatan rawan kembali jatuh.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































