Jakarta (ANTARA) - Diluncurkannya Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) menimbulkan demam sesaat di kalangan masyarakat, layaknya “Danantara effect”.
Gelombang polemik yang beragam bermunculan. Sejumlah pengamat menanggapi positif, namun warganet sebaliknya, sebagian besar pesimistis. Alih-alih transformasi, banyak yang menyebutnya sebagai ilusi investasi.
Danantara merupakan megaholding BUMN dan proyek ambisius yang lahir di tengah ekspektasi besar publik terhadap transformasi ekonomi Indonesia.
Ia digadang-gadang sebagai model baru dalam pengelolaan aset negara, mirip dengan Temasek di Singapura atau Khazanah Nasional di Malaysia.
Seperti halnya proyek besar lainnya, keberhasilan Danantara sangat bergantung pada bagaimana ia dikelola.
Struktur yang dirancang begitu kompleks, dengan dewan pengawas yang diisi oleh para pejabat tinggi negara, Badan pelaksana yang dipimpin oleh profesional di bidang investasi, serta dewan penasihat yang akan melibatkan figur-figur global.
Ini semua tampak menjanjikan, tetapi di balik kemegahan struktur tersebut, muncul pertanyaan mendasar tentang apakah Danantara benar-benar bisa menjadi instrumen investasi yang lincah dan efisien, atau justru menjadi raksasa birokrasi yang berjalan terseok-seok?
Dewan pengawas yang diketuai oleh Erick Thohir (menteri BUMN), dengan anggota dari berbagai institusi penting, seperti KPK, BPK, BPKP, dan PPATK, mengirimkan pesan bahwa transparansi dan akuntabilitas menjadi prioritas.
Sejarah menunjukkan bahwa semakin banyak aktor dalam satu mekanisme pengawasan, semakin besar potensi tarik-menarik kepentingan yang berujung pada lambannya pengambilan keputusan.
Pengalaman dengan berbagai lembaga pengawas di Indonesia mengajarkan bahwa niat baik tidak selalu berujung pada eksekusi yang efisien.
Di atas kertas, sistem ini menjanjikan ketelitian dan pengawasan ketat, tetapi dalam praktiknya, bisa saja justru menjadi penghambat ketimbang pendorong.
Badan pelaksana yang dipimpin oleh Rosan Roeslani, didampingi oleh Dony Oskaria dan Pandu Sjahrir, membawa kombinasi pengalaman di dunia investasi dan keuangan.
Ini adalah tim yang diharapkan mampu membawa Danantara bergerak cepat di tengah dinamika pasar global. Namun, tantangan yang mereka hadapi bukan hanya soal strategi bisnis, melainkan juga bagaimana mereka bisa beroperasi secara fleksibel dalam struktur yang dipenuhi lapisan birokrasi.
Keberadaan berbagai komite, seperti komite risiko dan komite investasi bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, mereka bisa memastikan bahwa setiap keputusan investasi diambil dengan pertimbangan matang.
Di sisi lain, jika terlalu banyak prosedur yang harus dilalui, keputusan strategis bisa kehilangan momentum dan menghilangkan daya saing.
Tokoh global
Di tingkat yang lebih tinggi, dewan penasihat yang melibatkan tokoh-tokoh global menandakan ambisi besar Danantara untuk memiliki perspektif internasional dalam pengelolaan investasi.
Ini adalah langkah yang menarik, tetapi juga berisiko. Jika penasihat yang diundang hanya berperan sebagai simbol atau sekadar window dressing, keberadaan meraka tidak akan memberikan dampak nyata bagi kebijakan Danantara.
Tantangan lainnya adalah memastikan bahwa kepentingan nasional tetap menjadi prioritas, tanpa terlalu banyak dikendalikan oleh pengaruh luar. Apalagi, keterlibatan asing dalam pengelolaan aset negara selalu menjadi isu sensitif di Indonesia.
Salah satu aspek yang mendapat sorotan tajam adalah penunjukan Tony Blair sebagai anggota dewan pengawas.
Kritikus mempertanyakan potensi konflik kepentingan, mengingat latar belakang dan jaringan bisnis global yang dimilikinya.
Memang, dalam dunia investasi, kepercayaan adalah mata uang utama. Jika ada sedikit saja kesan bahwa keputusan di Danantara bisa dipengaruhi oleh kepentingan luar, maka kredibilitasnya bisa runtuh.
Solusi terbaik dalam menghadapi skeptisisme ini adalah transparansi total. Danantara harus membuka diri, menjelaskan kriteria pemilihan Blair, serta menetapkan mekanisme pengawasan yang ketat.
Setiap keputusan investasi harus dipublikasikan dengan jelas, dan setiap potensi konflik kepentingan harus diungkapkan kepada publik tanpa ditutup-tutupi.
Ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin berpendapat penunjukan tokoh besar dunia dalam struktur kepengurusan Danantara dapat berperan mendongkrak citra dan membantu membangun jaringan.
Tokoh global mempunyai beberapa kelebihan, di antaranya adalah ketegasan menjalankan standard operating procedure (SOP) dan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG), serta tidak rentan terhadap politisasi.
"Pelibatan expat untuk posisi dewan pengawas, internal audit, direksi Danantara/BUMN, komite, komisaris BUMN, dan lainnya, boleh- boleh saja, asal mereka betul-betul membawa ekspertise yang kita perlukan,” ujar Wijayanto.
Kontroversi lainnya adalah rangkap jabatan beberapa menteri dan wakil menteri di Danantara.
Rosan Perkasa Roeslani sebagai Chief Executive Officer (CEO) Danantara masih menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sementara Dony Oskaria sebagai Chief Operating Officer (COO) Danantara menjabat sebagai Wakil Menteri BUMN. Pandu Patria Sjahrir sebagai Chief Investment Officer (CIO) Danantara adalah Ketua Pengembangan Keuangan Digital Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia.
Ini memunculkan pertanyaan tentang independensi dan fokus kerja. Bagaimana mungkin seorang menteri yang sudah disibukkan dengan tugas kementeriannya masih bisa memberikan perhatian penuh pada investasi Danantara?
Ini adalah masalah klasik dalam tata kelola di Indonesia, di mana pejabat publik sering kali memegang terlalu banyak peran sekaligus. Solusi yang lebih ideal adalah profesionalisasi penuh.
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai dibutuhkan sosok pengurus yang penuh totalitas dalam menjalankan operasional Danantara.
Para pemimpin Danantara sebaiknya memilih salah satu jabatan di tengah rangkap jabatan yang sedang dijalani, sebagai upaya menghindari konflik kepentingan dan menghindari kepentingan politik.
Jika Danantara memang ingin menjadi instrumen investasi yang efektif, maka ia harus dikelola oleh para profesional yang berdedikasi penuh, bukan oleh pejabat yang hanya membagi waktu di antara banyak tugas.
Belajar dari Temasek Singapura, yang dikelola oleh talenta terbaik dari sektor investasi, Danantara harus berani merekrut orang-orang yang memang benar-benar memiliki keahlian dan pengalaman di bidang ini.
Efek ganda
Di luar isu struktural dan kepemimpinan, ada tantangan besar lain yang harus dihadapi, yaitu bagaimana Danantara memastikan bahwa investasinya benar-benar memberikan dampak signifikan bagi perekonomian nasional.
Fokus pada sektor investasi yang memiliki efek ganda yang tinggi harus menjadi prioritas. Infrastruktur, energi hijau, manufaktur berteknologi tinggi, serta digitalisasi ekonomi adalah beberapa sektor yang harus menjadi pilar utama.
Jika tidak memiliki strategi investasi yang jelas, Danantara bisa kehilangan arah dan terjebak dalam proyek-proyek yang kurang produktif atau bahkan merugikan negara.
Transparansi juga harus menjadi pilar utama dalam operasional Danantara. Mengingat besarnya dana yang akan dikelola, publik berhak mendapatkan akses terhadap informasi yang memadai terkait kebijakan investasi, penggunaan dana, serta hasil yang telah dicapai.
Jika Danantara beroperasi seperti sebuah entitas eksklusif yang menutup diri dari kritik dan masukan publik, maka cepat atau lambat kepercayaan terhadapnya akan runtuh.
Dalam hal ini, Oversight & Accountability Committee yang dibentuk harus benar-benar memiliki keberanian untuk menegakkan aturan.
Jika hanya menjadi wadah seremonial, tanpa keberanian bertindak, maka ia tidak akan lebih dari sekadar hiasan yang tidak memiliki dampak nyata terhadap tata kelola.
Keberhasilan Danantara juga sangat bergantung pada seberapa fleksibel ia dalam mengambil keputusan.
Dunia investasi bergerak dengan kecepatan tinggi, dan jika Danantara terlalu lamban dalam merespons dinamika pasar akibat birokrasi internal, ia akan kehilangan daya saing.
Oleh karena itu, penting untuk menciptakan keseimbangan antara fleksibilitas dan akuntabilitas.
Koordinasi antara dewan pengawas dan badan pelaksana harus berjalan secara efisien tanpa mengorbankan transparansi.
Selain itu, sistem evaluasi kinerja harus berbasis indikator yang jelas, sehingga setiap kebijakan yang diambil dapat diukur efektivitasnya secara objektif.
Danantara, faktanya hadir di tengah harapan besar sebagai instrumen strategis untuk memperkuat investasi nasional dan menarik modal asing yang berkualitas.
Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah kecil. Bukan hanya soal bagaimana ia akan beroperasi, tetapi juga bagaimana ia mampu menjaga keseimbangan antara fleksibilitas dalam pengambilan keputusan dan akuntabilitas yang tinggi.
Jika ia mampu menavigasi tantangan ini dengan baik, Danantara bisa menjadi kekuatan baru, sekaligus mengubah peta perekonomian Indonesia.
Jika tidak, ia hanya akan menjadi tambahan struktur birokrasi yang memperlambat gerak investasi dan berakhir sebagai harapan yang tidak terwujud.
Maka, satu harapan yang pasti, Danantara jangan sampai hanya mendatangkan efek demam sesaat, melainkan transformasi ekonomi yang baik dan berkelanjutan.
Copyright © ANTARA 2025