Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memandang perlunya melibatkan parlemen dalam mewujudkan agenda women, peace, and security (WPS).
"Kita selama ini itu melibatkan semua pihak, tapi kita belum melibatkan politisi, jadi parlemen itu belum kita libatkan," kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA Eni Widiyanti dalam diskusi kelompok terpumpun bertajuk "Women, Peace, and Security" di Jakarta, Selasa (25/2).
Menurut dia, keterlibatan parlemen ini penting karena Perpres Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (P3AKS) akan direvisi mengingat cakupan agenda WPS lebih luas dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
"Jadi itu kan undang-undang sempit, sementara agenda WPS itu lebih luas, makanya kita mau merevisi itu," kata dia.
Agenda WPS di tingkat internasional diinisiasi pada tahun 2000 yang dituangkan dalam Resolusi 1325 dan menjadi bentuk pengakuan terhadap posisi perempuan sebagai aktor dalam perdamaian dan resolusi konflik.
Di Indonesia, agenda WPS diwujudkan melalui penyusunan rencana aksi yang tertuang dalam Permenko PMK Nomor 5/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) 2020-2025.
Tahun 2025 merupakan periode akhir pelaksanaan RAN P3AKS.
"RAN P3AKS ini juga selesai tahun 2025. Berarti kita akan menyusun yang berikutnya, harus melibatkan politisi dari parlemen," kata Eni Widiyanti.
Baca juga: KemenPPPA laksanakan pelatihan warga binaan Lapas Perempuan Yogyakarta
Baca juga: KemenPPPA pantau perkembangan insiden pemukulan pertandingan basket
Baca juga: PNM-KemenPPPA resmikan ruang pintar di Kota Tangerang
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025