Pamekasan (ANTARA) - Anggota Komisi VIII DPR RI Ansari menyarankan agar kasus ibu yang menganiaya anak kandungnya di Pangkalpinang, Kepulauan Bangaka Belitung (Babel), ditangani dengan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).
"Saya sangat sedih mendengar kasus di Pangkalpinang ini, karena pelaku adalah orang yang seharusnya menjadi pelindung terdekat. Namun faktanya seorang ibu bisa melakukan kekerasan. Kita juga prihatin karena kasus kekerasan di dalam rumah tangga trennya terus meningkat di Indonesia," katanya di sela-sela dialog Moderasi Beragama di Pamekasan, Jawa Timur, Jumat.
Menurut Ansari, pendekatan keadilan restoratif dalam kasus ini bisa menjadi opsi terbaik karena tidak melepaskan aspek hukum dan pada saat yang sama juga menjaga nilai-nilai kemanusiaan.
Ibu kandung sebagai pelaku, kata dia, tetap harus mendapat hukuman karena melakukan kekerasan. "Namun proses memulihkan korban dan membangun kembali hubungan keluarga agar lebih aman juga penting," katanya.
Baca juga: Cegah KDRT, KemenPPPA gaungkan kemandirian ekonomi perempuan
Kekerasan dalam rumah tangga, menurut dia, selalu tidak berdiri sendiri, karena ada banyak faktor yang melatarbelakangi, seperti ekonomi, sosial, budaya, dan relasi suami-istri.
Untuk itu wakil rakyat asal Pulau Madura itu memandang regulasi yang ada, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, harus diterapkan secara tepat.
"Dengan restoratif ini ibu mengakui akan kesalahan yang diperbuat, lalu bertanggung jawab dan ada kesediaan memperbaikinya demi masa depan anak. Makanya perlu ada mediasi dengan melibatkan psikolog. Dengan begitu proses hukum tetap memperhatikan asas kepentingan terbaik untuk anak atau best interest of the child,” kata Ansari.
Ia menilai kasus yang terjadi di Kelurahan Air Itam, Kecamatan Bukit Intan, Pangkalpinang, tersebut menjadi alarm bahwa pemahaman orang tua di Indonesia terhadap jaminan perlindungan anak masih belum kuat.
Baca juga: Anggota DPR minta polisi sigap cegah KDRT usai viral anak aniaya ibu
Untuk itu pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) perlu meningkatkan sosialisasi terkait regulasi dan membuat langkah pencegahan secara lebih strategis.
“Memang seringkali kekerasan dalam rumah tangga itu tidak diawali niat jahat, namun dipicu akumulasi stres, trauma, sosial, dan konflik peran. Maka pemahaman akan UU yang memberikan perlindungan juga harus dipahamkan secara lebih mengakar kepada masyarakat,” katanya.
Kasus kekerasan rumah tangga di Pangkalpinang itu dilakukan oleh seorang ibu ibu rumah tangga terhadap anak kandungnya yang masih berumur 7 tahun dengan cara disetrika.
Peristiwa ini terjadi pada 18 Oktober 2025 dan baru terbongkar setelah ayah kandung korban melapor ke polisi dan saat ini kasus tersebut telah ditangani Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Pangkalpinang.
Baca juga: Kekerasan pada anak terjadi karena kurang komunikasi orang tua-anak
Baca juga: Kemen PPPA soroti kerentanan perempuan dan anak di situasi darurat
Pewarta: Abd Aziz
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































