Jakarta (ANTARA) - Aliansi masyarakat sipil menghargai putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan uji formil Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) meski menyampaikan sejumlah isu termasuk terkait partisipasi bermakna.
"Kami menghargai putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Uji Formil UU KSDAHE yang kami mohonkan. Namun bagi kami pelibatan masyarakat terutama Masyarakat Hukum Adat dalam RDPU tidaklah cukup untuk menjamin aspek meaningfull participation dalam pembentukan UU KSDAHE," ujar Cindy Julianty selaku Eksekutif Koordinator Working Group Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territory (ICCAs) Indonesia di Jakarta, Jumat.
Pengajuan uji formil itu sendiri dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Mikael Ane, anggota Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Dalam putusannya MK menyebut bahwa pembentukan UU KSDAHE tertutup tapi tidak bermasalah karena masyarakat sipil masih dapat mengakses pembicaraan dalam rapat melalui catatan rapat.
Dalam pertimbangannya, MK mengakui bahwa 21 rapat pada Pembicaraan Tingkat I dan satu rapat pada Pembicaraan Tingkat II dalam tahapan pembahasan, hanya empat rapat diselenggarakan secara terbuka, sedangkan sisa rapat lainnya termasuk di dalamnya rapat Tim Perumus dan Sinkronisasi yang diselenggarakan secara tertutup.
MK menyebutkan meskipun rapat dinyatakan tertutup, masyarakat tetap dapat mengetahui pembicaraan dalam rapat melalui catatan rapat baik seluruh maupun sebagian isi pembahasan.
Baca juga: Kemenhut siapkan aturan inovasi pendanaan dukung kegiatan konservasi
Baca juga: KLHK: UU KSDAHE tidak akan hambat akses legal masyarakat hukum adat
Padahal, kata Cindy, hasil pemantauan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Konservasi Berkeadilan menemukan 20 dokumen proses rapat yang tidak dapat diakses.
Terkait hal itu, dia menyebut koalisi organisasi masyarakat sipil, masyarakat adat adat dan akademisi menyerukan agar proses legislasi ke depan wajib memenuhi prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation), terutama dalam isu-isu terkait lingkungan hidup, tanah, dan sumber daya alam.
Dalam pernyataan serupa, Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menyayangkan yang menurutnya ketiadaan partisipasi penuh dan efektif terutama dari masyarakat adat dalam pembentukan UU itu.
"Undang-Undang ini boleh saja dianggap legal oleh para pengambil kebijakan, dan Mahkamah Konstitusi dengan menyatakan telah memenuhi syarat formil pembentukan perundang-undangan. Tapi bagi kami, Masyarakat Adat, proses pembentukan UU KSDAHE serta putusan MK ini tidak mencerminkan partisipasi penuh dan efektif," jelasnya.
Dalam putusan MK itu terdapat dua opini berbeda atau dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra, yang menyebut bahwa proses pembentukan UU 32/2024 telah dibahas dalam rapat bersifat tertutup yang berimbas pada kesulitan bagi masyarakat mengetahui informasi perkembangan pembahasan rancangan undang-undang dimaksud.
Kedua Hakim MK tersebut menyatakan, karena terdapat fakta proses pembahasan UU 32/2024 dilakukan secara tertutup tanpa disertai alasan valid yang berdampak pada pengabaian Asas Keterbukaan dan Keterlibatan Publik dalam mewujudkan prinsip Meaningfull Participation, seharusnya MK menyatakan bahwa UU 32/2024 mengandung cacat formil sehingga proses pembentukannya bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Baca juga: Koalisi minta UU KSDAHE tak mengecualikan masyarakat adat
Baca juga: Pemerintah kaji model bagi hasil berkeadilan untuk pemanfaatan SDA
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.