Jakarta (ANTARA) - Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan mengungkapkan adanya ketimpangan antara cakupan perlindungan asuransi dan nilai kerugian dari kejadian banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera.
Ia menuturkan estimasi awal pemerintah, terkait anggaran yang diperlukan untuk pemulihan infrastruktur dasar mencapai Rp51 triliun atau jauh lebih besar dibandingkan estimasi awal nilai klaim yang dilaporkan perusahaan asuransi umum sebesar Rp567,02 miliar.
"Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar risiko bencana masih belum terlindungi oleh asuransi," ucap Budi dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.
Ia menyatakan hal tersebut menjadi tantangan bersama bagi seluruh pemangku kepentingan di bidang perasuransian untuk meningkatkan literasi masyarakat serta inklusi dan penetrasi produk asuransi bencana di masa mendatang.
Untuk mengatasi ketimpangan inklusi asuransi tersebut, AAUI menekankan urgensi penerapan asuransi wajib bencana, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Budi mengatakan pihaknya mengusulkan skema asuransi berbasis parametrik yang memungkinkan pembayaran klaim secara cepat berdasarkan parameter indeks tertentu, seperti curah hujan atau kekuatan gempa.
Ia menyampaikan skema tersebut tidak memerlukan proses survei kerugian yang memakan waktu lama, sehingga sangat cocok untuk keperluan tanggap darurat pascabencana.
Polis asuransi harta benda standar yang berlaku saat ini, lanjut dia, pada dasarnya menjamin risiko banjir dan angin topan, sepanjang terdapat perluasan jaminan Klausula 43 A.
Klausul tersebut berbunyi "pertanggungan ini diperluas untuk menjamin kerusakan pada atau kemusnahan dari harta benda yang dipertanggungkan sebagai akibat satu atau lebih dari risiko-risiko berikut: i) Banjir, ii) Angin topan dan/atau badai, iii) Kerusakan akibat air”.
"Terkait dengan angin topan, AAUI juga mencatat bahwa berdasarkan informasi dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), kecepatan angin pada kejadian (bencana di Sumatera) ini telah memenuhi kriteria angin topan dengan kecepatan di atas 30 knot, sebagaimana lazim digunakan dalam praktik perasuransian," jelas Budi.
Polis asuransi di Indonesia juga menerapkan Klausula 72 Jam atau "setiap peristiwa kerugian yang disebabkan oleh bahaya yang dipertanggungkan dianggap sebagai satu kejadian, dengan catatan bahwa bilamana lebih dari satu peristiwa terjadi dalam waktu 72 jam, peristiwa-peristiwa tersebut dianggap sebagai satu kejadian dalam polis ini".
"Ketentuan ini penting untuk memberikan kepastian dalam proses penanganan klaim, khususnya pada bencana yang terjadi secara beruntun dalam rentang waktu yang berdekatan," imbuh Budi.
Baca juga: AAUI catat estimasi awal klaim banjir Sumatera Rp567,02 miliar
Baca juga: AAJI minta perusahaan asuransi permudah klaim korban banjir Sumatera
Baca juga: Asuransi parametrik bencana didesain agar dapat cair dalam 7-14 hari
Pewarta: Uyu Septiyati Liman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































