Jakarta (ANTARA) - Uji materi terkait praktik rangkap jabatan wakil menteri (wamen) sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mulai bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK).
MK pada Kamis ini menggelar sidang perdana untuk Perkara Nomor 118/PUU-XXIII/2025 dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Pemohon, aktivis hukum A. Fahrur Rozi, hadir langsung di ruang persidangan di Gedung MK, Jakarta, sementara pemohon lainnya, pendiri Pinter Hukum Ilhan Fariduz Zaman, mengikuti persidangan secara daring.
Kedua pemohon itu mengajukan permohonan uji materi Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara serta Pasal 27B dan Pasal 56B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Di hadapan majelis hakim panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Fahrur Rozi mengaku resah dengan adanya praktik rangkap jabatan wamen sebagai komisaris BUMN. Menurut dia, sedikitnya ada 30 wamen yang merangkap jabatan.
“Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara itu tidak menyebutkan adanya frasa wakil menteri secara eksplisit, sedangkan Pasal 27B dan Pasal 56B [Undang-Undang BUMN] itu tidak memberikan kualifikasi yang rigid jabatan apa saja yang menjadi objek larangan rangkap jabatan,” kata Fahrur Rozi.
Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara berisi aturan larangan rangkap jabatan terhadap menteri. Pasal tersebut berbunyi:
“Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.”
Menurut para pemohon, pasal tersebut menjadi tidak berkepastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, norma pasal itu hanya berlaku terhadap jabatan menteri semata, sementara jabatan wakil menteri bisa lepas dari kualifikasi ketentuan pasal dimaksud.
Oleh sebab itu, para pemohon menilai Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara perlu mendapatkan interpretasi leksikal dengan menambahkan frasa “wakil menteri” secara eksplisit ke dalam norma pasal.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menambahkan frasa “wakil menteri” dalam Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara.
Pemaknaan demikian dianggap menegaskan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang menyatakan bahwa seluruh larangan rangkap jabatan menteri berlaku pula bagi wakil menteri karena statusnya sama-sama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Adapun Pasal 27B Undang-Undang BUMN berisi larangan rangkap jabatan dewan komisaris BUMN, sementara Pasal 56B Undang-Undang BUMN mengatur larangan rangkap jabatan dewan pengawas BUMN.
Menurut Fahrur dan Ilhan, kedua pasal tersebut belum memberikan kualifikasi yang rigid dan eksplisit jabatan apa saja yang dilarang untuk diduduki secara bersamaan oleh dewan komisaris dan dewan pengawas.
Kondisi itu berbeda dengan aturan larangan rangkap jabatan untuk dewan direksi BUMN yang diatur dalam Pasal 15B dan 43D Undang-Undang BUMN. Oleh karenanya, Pasal 27B dan Pasal 56B dinilai bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil.
Perbedaan mendasar, yaitu dewan pengawas dan dewan komisaris tidak dilarang merangkap jabatan struktural dan fungsional pada kementerian/lembaga pemerintah pusat dan pemerintah daerah layaknya larangan terhadap dewan direksi.
Selain itu, dewan pengawas dan dewan komisaris BUMN juga tidak dilarang merangkap sebagai pengurus partai politik, calon anggota legislatif, anggota legislatif, calon kepala daerah, calon wakil kepala daerah, kepala daerah, dan/atau wakil kepala daerah ataupun jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.
Maka dari itu, para pemohon meminta MK menyamakan aturan larangan rangkap jabatan dewan komisaris dan dewan pengawas BUMN sebagaimana larangan rangkap jabatan untuk dewan direksi.
Pada sesi nasihat hakim, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih selaku anggota panel menyarankan para pemohon untuk mempertajam uraian pertentangan norma pasal yang diuji dengan konstitusi.
“Di mana letaknya kalau saudara mengatakan ini tidak ada jaminan, misalnya, kepastian hukum atau apa, terserah, saudara harus bangun sendiri. Kalau perlu Anda buat komparasi dengan negara lain yang sistemnya presidensial juga,” ucap Enny.
Saran tersebut disampaikan Enny khusus untuk pengujian Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara. Dia tidak memberikan banyak masukan terkait pengujian pasal-pasal dalam Undang-Undang BUMN karena undang-undang itu sedang diuji aspek formilnya.
“Undang-Undang BUMN itu sedang dalam proses uji formil, saya tidak memberikan banyak hal di situ, menunggu sampai selesai uji formilnya itu,” ucap Enny.
Baca juga: Pemohon uji materi soal wamen dilarang rangkap jabatan kian bertambah
Baca juga: MK: Pimpinan organisasi advokat tak boleh rangkap pejabat negara
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.