Sumpah “Sehat” Pemuda 6.0

23 hours ago 1

Jakarta (ANTARA) - Sumpah Pemuda sering dirayakan dengan puisi perjuangan, arsip hitam-putih, dan jargon persatuan. Namun, bila dilihat dari kacamata biologi dan kedokteran, 28 Oktober 1928 adalah peristiwa medis, momen ketika bangsa ini membangun sistem pertahanan tubuhnya. Sumpah Pemuda menjadi saat ketika “tubuh Indonesia” yang tercerai-berai, mulai bertindak seperti satu organisme imunologis yang sadar ancaman, mengenali diri, mengidentifikasi musuh, dan siap berdikari.

Dalam imunologi, hal pertama yang harus dilakukan tubuh adalah membedakan mana "diri" dan mana "bukan diri". Sel imun harus tahu mana jaringan sehat yang harus dilindungi, dan mana patogen yang harus dilawan. Sebelum 1928, Nusantara seperti kumpulan organ yang berjalan sendiri-sendiri: Batak, Minang, Jawa, Bugis, Ambon, Sunda, Papua, dan lainnya.

Semua kuat, tapi tanpa kesadaran diri kolektif. Akibatnya, kolonialisme masuk, seperti infeksi oportunistik. “Divide et impera” adalah strategi khas patogen cerdas.

Para pemuda 1928 melakukan langkah revolusioner: mereka mendefinisikan identitas bersama. “Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” adalah proses imunologis bangsa, menentukan apa yang harus dipertahankan. Sejak itu, "Indonesia" bukan sekadar ide, melainkan tubuh hidup yang perlu dijaga.

Hampir seabad kemudian, musuh bangsa bukan lagi penjajahan fisik, melainkan fragmentasi: perhatian, tidur, nutrisi, empati, bahkan makna hidup. Tubuh muda Indonesia kini hidup dalam "peradangan tingkat rendah", inflamasi kronis akibat stres, pola makan buruk, kurang gerak, dan notifikasi digital tanpa henti.

Secara psikologis, mereka hidup dalam mode siaga permanen: takut tertinggal, takut dinilai, takut gagal. Secara sosial, ini tampak dalam kompetisi status, komentar sinis, dan rasa tidak cukup. Gejalanya seperti autoimunitas sosial: generasi muda menyerang dirinya sendiri. Mereka sadar jam tidur rusak, tubuh lelah, pikiran cemas, tapi tetap memaksa diri. Mereka hidup dalam ekosistem yang membuat mereka sakit, sambil menyalahkan diri sendiri.

Burnout bukan sekadar lelah emosional, tetapi penyakit peradangan masyarakat modern. Ia muncul sebagai gastritis, jerawat, nyeri kepala, jantung berdebar, dan lelah kronis. Tubuh sedang berteriak minta istirahat, bukan gagal bertahan.

Jika Sumpah Pemuda dibaca ulang secara jujur, maka isu generasi muda hari ini adalah persoalan kesehatan publik, bukan sekadar nasionalisme. Kesehatan berarti kapasitas bertahan secara biologis, mental, sosial, spiritual, dan digital. Anak muda kini dipaksa menjadi dokter, konselor, ahli gizi, dan pakar keamanan data bagi dirinya sendiri, tanpa dukungan sistem yang memadai.

Inilah paradoks besar generasi kita, teknologi medis semakin maju, tapi infrastruktur pendamping tertinggal. Remaja bisa memesan tes genetik atau skincare aktif setara klinik, namun panik dan kebingungan sendiri. Tubuh menjadi proyek desain, wajah menjadi produk, dan identitas berubah menjadi komoditas. Maka, pertanyaannya: apa arti Sumpah Pemuda bila tubuh para pemuda justru dikomodifikasi?

Dalam ilmu kedokteran dasar kita belajar konsep homeostasis, kemampuan tubuh menjaga keseimbangan. Kini, generasi muda butuh homeostasis identitas, kemampuan menjaga diri di tengah kebisingan sosial. Mereka perlu berani berkata: “Ini nilai saya, ini ritme saya, dan tubuh saya bukan mesin konten.” Itulah Sumpah Sehat Pemuda 6.0.

Di titik ini, nanoimmunobiotechnomedicine terasa relevan, menggambarkan tantangan baru generasi muda. Bidang nanoimmunobiotechnomedicine, “Nano” bicara soal terapi presisi; “immuno” tentang perlindungan tubuh terhadap infeksi dan stres; “bio” tentang kehidupan yang harus dirawat, termasuk luka mental; “techno” tentang AI dan big data kesehatan; “medicine” tentang pelayanan manusiawi yang tak boleh tunduk pada algoritma.

Pertanyaan moralnya jelas: siapa yang mendapat akses dan siapa yang tertinggal? Tidak ada gunanya kemajuan medis jika hanya dinikmati kelompok kaya, sementara pekerja muda dan buruh kota tak sempat istirahat. Tak ada artinya startup kesehatan digital jika data pribadi pengguna dijual sebagai aset iklan.

Dalam imunologi ada istilah toleransi imun, yaitu kemampuan tubuh menerima hal yang tidak berbahaya agar tidak menyerang diri sendiri. Bangsa juga membutuhkan toleransi sosial agar tidak saling merusak karena perbedaan. Kekerasan digital — ujaran kebencian, perundungan daring — adalah bentuk inflamasi sosial yang berdampak langsung pada tubuh: stres, gangguan tidur, dan peradangan.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |