Beijing (ANTARA) - Dalam sebuah pameran di jantung ibu kota China, Beijing, data kosmis menjadi seni yang nyata.
Menelusuri 10 miliar tahun cahaya hanya dengan menggeser jari, menyaksikan jaringan puing-puing ruang angkasa yang padat dan kusut yang kini mengitari Bumi, serta mendengarkan musik yang dibuat dari data yang dikumpulkan oleh satelit-satelit yang mengorbit di luar angkasa, semuanya menjadi pilihan dalam pameran yang bertajuk "Arkeologi Kosmos: Eksplorasi dalam Ruang dan Waktu" (Cosmos Archaeology: Explorations in Time and Space).
Pameran tersebut dibuka untuk umum pada Kamis (3/7) di Museum Nasional China. Di sini, pengunjung dapat menemukan dan menjelajahi pintu gerbang baru menuju alam semesta.
Diselenggarakan bersama oleh Museum Nasional China, Kedutaan Besar Swiss di China, dan Swiss Federal Institute of Technology Lausanne (EPFL), pameran ini merupakan salah satu dari rangkaian acara untuk merayakan peringatan 75 tahun berdirinya hubungan diplomatik antara China dan Swiss.
Pameran yang akan berlangsung selama tiga bulan ini menampilkan banyak karya yang dibuat dari data observasi nyata dan mengubah fenomena kosmis yang abstrak menjadi pengalaman yang imersif.
"Orang awam sering kali merasa tak dapat menjangkau kumpulan data nan luas dari sains dasar," kata salah satu kurator pameran itu, Long Xingru.
"Seni menjadi sarana yang sangat baik untuk menceritakan kisah-kisah ilmiah. Seni memperkaya ekspresi kita tentang sains," tambah Long.
Visinya diwujudkan melalui instalasi-instalasi dalam pameran ini.
Salah satu instalasi, yang dikembangkan oleh laboratorium EPFL untuk menampilkan kosmos yang dinamis, menggunakan mesin rekacitra grafis (graphics rendering) khusus untuk membangun model alam semesta 3D yang interaktif, sehingga memungkinkan para pengunjung untuk menjelajahi skala kosmis yang mencakup 27 orde magnitudo.
Benda pameran lain di dekat instalasi tersebut, yaitu sebuah sistem visualisasi astrofisika interaktif, memproyeksikan sekitar 500 citra luar angkasa dalam (deep-space) NASA ke sebuah lingkungan berbentuk kubah. Modul-modul peningkatan optik kemudian mengubah data teleskop menjadi nebula yang berkilauan dan galaksi-galaksi berspiral yang saling bertabrakan.
Secara khusus, pameran ini menghubungkan penyelidikan kosmis selama ribuan tahun. Sebuah artefak berharga dari koleksi Museum Nasional China, yakni sebuah prasasti gosok dari era Dinasti Song Selatan (1127-1279), mengungkap kemahiran astronomis China pada masa awal.
Peta bintang pada artefak tersebut mendokumentasikan 1.434 bintang yang dipetakan secara berpresisi, bersama dengan batas Bimasakti, jalur ekliptika, dan 28 konstelasi bulan, melampaui akurasi sistematis dalam peta-peta Eropa kontemporer.
Para astronom modern mengonfirmasi bahwa posisi bintang-bintang di dalam artefak tersebut sangat sesuai dengan katalog-katalog kontemporer.
Namun, di samping keajaiban sejarah, juga terdapat peringatan keras tentang masa depan.
Dengan meningkatnya jumlah satelit dan wahana antariksa yang diluncurkan, puing-puing ruang angkasa terus menumpuk. Sebuah laboratorium EPFL berhasil menciptakan perangkat visualisasi data interaktif yang secara dinamis menyajikan puluhan ribu satelit dan puing-puing antariksa.
Secara visual, perangkat itu menyiratkan bahwa Bumi kini telah terperangkap dalam jaring-jaring yang tersusun dari lapisan sampah antariksa yang padat.
"Hal ini memaksa kita untuk memikirkan kembali bagaimana kita akan mengeksplorasi dan mengelola sumber daya antariksa di masa depan," ujar Gao Lu, seorang kurator dan associate researcher di Museum Nasional China.
Selain memvisualisasikan kosmos yang jauh, pameran ini juga menyelidiki posisi umat manusia di dalam kosmos.
Pameran ini menampilkan serangkaian karya yang dirancang oleh anggota fakultas dan mahasiswa dari Akademi Seni dan Desain Universitas Tsinghua, salah satu penyelenggara pameran itu, yang membayangkan perjalanan planet di masa depan.
"Sains dan seni berpisah di kaki gunung, namun bersatu kembali di puncaknya," ungkap Shi Danqing, lektor kepala di akademi tersebut.
"Kami membutuhkan mahasiswa yang memiliki kemampuan berpikir ilmiah sekaligus kreativitas dalam desain eksperimental -- menggabungkan teknologi dengan eksplorasi. Kemampuan ini menjadi sangat penting di era kecerdasan buatan (AI)," imbuh Shi.
Penerjemah: Xinhua
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.