Jakarta (ANTARA) - Putusan MK No135/PUU-XXII/2025 menjadi titik krusial bagi sistem demokrasi di Indonesia, karena satu sisi terjadi perubahan skema pelaksanaan pemilu dan di sisi lain menjadi harapan bagi perbaikan kualitas demokrasi di Indonesia.
MK melalui putusan itu memerintahkan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisah dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional adalah pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Sementara itu, pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
Secara historis, pemisahan pelaksanaan pemilu sebenarnya telah diputuskan MK melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menentukan enam model pemilu serentak yang konstitusional, yaitu:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota; dan
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.
Baca juga: Dukung putusan MK, Komnas HAM: Kematian petugas pemilu masih tinggi
Berdasarkan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 tersebut, MK "membuka peluang" bagi pembuat UU untuk membuat skema pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal. Namun saat itu, DPR dan presiden tidak mengubah UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada sehingga pelaksanaan Pemilu 2024 dilakukan dengan skema pemilu serentak (Pilpres, pileg) dan pilkada serentak.
Namun, harus dicermati bahwa dasar MK mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2025, yaitu berdasarkan pengalaman pelaksanaan pemilu sebelumnya, selalu muncul berbagai permasalahan di tingkat penyelenggara, partai politik, dan pemilih.
Di tingkat penyelenggara, penggabungan pilpres dan pileg (DPR, DPD, dan DPRD) memunculkan beban kerja yang terlalu berat karena pemilu dilaksanakan dengan 5 kotak suara. Skema lima kotak suara tersebut justru menimbulkan kerumitan dalam penyelenggaraannya, mulai dari proses persiapan hingga rekapitulasi suara.
Baca juga: KPU: Putusan MK soal pemisahan pemilu titik perbaikan sistem ke depan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.