Partai politik dan dilema 135

1 month ago 16
Harapan tetap terbuka bahwa para wakil rakyat akan mengedepankan kebesaran jiwa dan visi kenegaraan, bukan sekadar kalkulasi elektoral

Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No 135/PUU-XXI/2023 menetapkan pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal.

Pemilu nasional; Pilpres, DPR, dan DPD, akan digelar pada 2029. Sementara pemilu lokal; pilkada dan pemilihan DPRD, dilaksanakan paling lambat 2,5 tahun setelahnya.

MK menilai model serentak lima kotak seperti 2019 dan 2024 terlalu kompleks: membebani penyelenggara, menghambat kaderisasi partai, menyebabkan kejenuhan pemilih, meningkatkan suara tidak sah, serta menenggelamkan isu lokal akibat dominasi kontestasi nasional.

Mahkamah berpendapat, apabila pemilu borongan seperti ini terus dibiarkan dapat mengancam kualitas demokrasi.

Keputusan MK tersebut kemudian menimbulkan perbincangan ramai di publik. Paling tidak terdapat tiga persoalan dari keputusan tersebut.

Pertama ialah legalitas keputusan MK, yang dipandang telah melebihi ruang yudikatif sebab teknis pelaksanaan pemilu bersifat open legal policy, yang menjadi ranah pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah.

Kedua, pemisahan pemilu nasional dan lokal akan melanggar Pasal 22E UUD 1945 tentang siklus pemilu lima tahunan.

Baca juga: Anggota Baleg buka wacana pemisahan pemilu jadi legislatif-eksekutif

Kemudian yang ketiga ialah masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD. Jika keputusan MK dilaksanakan, maka akan terjadi kekosongan di seluruh daerah, sebab kepala daerah dan anggota DPRD terpilih hasil pemilu 2024 sudah habis masa jabatannya pada 2029, sementara pemilu lokal baru akan dilakukan pada 2031.

Lantas bagaimana semestinya memaknai putusan terbaru MK tersebut? Para ahli dan pakar hukum mungkin memiliki pandangannya tersendiri, namun pada akhirnya semua akan bersepakat bahwa keputusan MK bersifat final dan mengikat. Oleh karenanya, mematuhi keputusan mahkamah bukan sesuatu yang bisa ditawar.

Perlu ditambahkan pula di sini bahwa praktek pelaksanaan pemilihan yang keluar dari siklus lima tahunan pernah terjadi. Pengalaman beberapa daerah yang seharusnya melaksanakan Pilkada pada tahun 2022 dan 2023 misalnya, baru melaksanakan pemilihan pada 2024. Begitu juga dengan masa jabatan, ada kepala daerah yang menjabat kurang dari lima tahun namun ada juga yang lebih.

Praktek seperti ini dimungkinkan dan tetap konstitusional selama dalam koridor masa peralihan dan diatur dalam undang-undang.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |