Jakarta (ANTARA) - Anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro menilai bahwa pemantauan terhadap pelayanan publik di rumah tahanan memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan dukungan kelembagaan yang kuat.
Saat menerima kunjungan bilateral dari Kedutaan Besar Swiss di Jakarta (11/7), ia mengatakan bahwa pemantauan terhadap pelayanan publik tahanan bukan perkara mudah karena selain tidak dilakukan secara sistematis, cakupan wilayah yang luas dan keterbatasan akses di area tertentu menjadi tantangan tersendiri.
"Ombudsman selama ini telah memberikan perhatian terhadap berbagai aspek pelayanan publik di lembaga pemasyarakatan dan tahanan," tutur Johanes saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Ia membeberkan bahwa fokus pengawasan mencakup infrastruktur fisik, keamanan, pembinaan, program rehabilitasi narapidana, serta pendekatan dialogis antara petugas dan warga binaan.
Baca juga: Ombudsman: RI bebas "middle income trap" dengan transformasi birokrasi
Saat ini, dirinya menjelaskan bahwa Ombudsman berperan sebagai koordinator Kerja Sama Untuk Pencegahan Penyiksaan (KUPP), bersama enam lembaga hak asasi manusia (HAM) lainnya.
Dalam 10 tahun terakhir, dikatakan bahwa KUPP berupaya mendorong ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention Against Torture/CAT) oleh pemerintah Indonesia.
"Kami baru saja menyusun rencana lanjutan bersama KUPP dan berharap Kedutaan Swiss dapat mendukung kelanjutan program ini, terutama setelah dukungan Uni Eropa yang kami terima berakhir pada Juni lalu," ucap dia.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Ombudsman RI Jemsly Hutabarat turut menyoroti hasil pemantauan Ombudsman di lapangan.
Berdasarkan survei internal, dikatakan bahwa sekitar 60 persen tahanan di Indonesia merupakan kasus narkotika dan mayoritas lembaga pemasyarakatan mengalami kelebihan kapasitas lebih dari 200 persen yang berdampak pada kualitas pelayanan dan risiko penyiksaan.
Baca juga: DPR setujui usulan pembukaan blokir anggaran Ombudsman Rp63,9 miliar
Untuk itu, Ombudsman RI berupaya memberikan masukan kepada parlemen, baik terkait Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru maupun persoalan pelayanan publik dan perlakuan terhadap tahanan.
"Akan sangat membantu jika kami juga bisa mempelajari sistem di Swiss untuk memperkuat argumen kami saat menyusun rekomendasi," tutur Jemsly.
Ombudsman RI pun menyampaikan harapannya agar kerja sama dengan Kedutaan Swiss dapat terus berlanjut, terutama dalam berbagai program yang mendorong penguatan pemantauan pelayanan publik dan perlindungan HAM di sektor peradilan dan pemasyarakatan.
Menanggapi hal tersebut, Deputy Head of Political Affairs Kedutaan Besar (Kedubes) Swiss Tessa Nerini menyambut baik kemungkinan pertukaran keahlian dan menjajaki peluang untuk mengundang Ombudsman RI berbagi pengalaman secara langsung dalam forum dialog HAM antara Indonesia dan Swiss.
"Kami percaya bahwa masukan dari Ombudsman akan memberikan perspektif yang penting dan mendukung proses kebijakan yang lebih informatif, baik untuk Swiss maupun dalam kerja sama bilateral kita," ujar Tessa.
Dia menekankan bahwa Swiss memiliki komitmen global dalam mempromosikan perlindungan HAM, termasuk kebebasan berbicara, penghapusan hukuman mati, perlindungan hak minoritas, dan kesetaraan gender.
Maka dari itu, dirinya ingin mengetahui lebih lanjut tentang kinerja KUPP dan berbagai isu prioritas yang saat ini sedang dihadapi Indonesia.
Terlebih dengan diperkenalkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional dan pembahasan KUHAP baru, Kedubes Swiss mengaku ingin memahami arah kebijakan yang sedang dibahas serta melihat bagaimana pihaknya dapat memberikan dukungan konkret untuk mendukung pekerjaan Ombudsman RI.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.