Ketika batik menginspirasi kebangkitkan ikon Gandaria

3 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Gandaria dalam konteks DKI Jakarta memang tertuju pada sebuah kelurahan di Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, yang dulunya banyak ditumbuhi pohon gandaria (Bouea macrophylla Griff). Nama pohon tropis tersebut diabadikan sebagai nama wilayah.

Namun itu masa lalu, karena sekarang tak lagi banyak pohon gandaria yang ditemukan di sana. Hanya tersisa gandaria sebagai nama wilayah.

Walau begitu, ada seorang perajin batik yang hidup di sana dan menghidupkan motif-motif khas Jakarta, khususnya buah gandaria di bawah label Batik Gandaria. Belakangan, usaha batik ini memotivasi pemangku kepentingan setempat untuk membudidayakan gandaria.

Nur Yaom nama sang perajin batik itu. Wanita asli Betawi yang sebenarnya sudah berusia senja namun tampak awet muda ini sudah mengenal dunia batik sejak kecil, karena ibundanya seorang perajin batik.

Berbekal pengetahuan yang diwariskan dari sang ibu serta pelatihan yang didapatkannya, Nur memulai usaha batik tulis dan cap pada tahun 2012. Dia mencoba peruntungan mengangkat motif-motif khas Betawi seperti tanjidor, ondel-ondel, lalu kuliner seperti kembang goyang, selendang mayang, dan bir peletok.

Semakin lama motif yang dia hadirkan ke dalam kain batik semakin banyak, seperti motif flora tapak dara, nona makan sirih, bunga telang, hingga buah gandaria. Motif buah gandaria punya arti khusus bagi Nur karena mengingatkannya pada kenangan saat tempat tinggalnya masih ditumbuhi banyak pohon gandaria.

Bila dihitung, total motif yang dia gambar pada kain batik sudah sekitar 50 jenis. Hasratnya masih menggebu untuk terus menggambar motif-motif khas Jakarta lainnya. Setiap tiga bulan, dia berharap bisa menggambar motif baru.

Dalam satu kain batik, dia menggambar lebih dari satu motif, namun tetap mengedepankan rumus padu padan fesyen sehingga tetap sedap dipandang mata. Motif ondel-ondel misalnya, dia padankan dengan motif tanjidor, yang keduanya sama-sama merupakan karya budaya Jakarta dan sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WTTb) Indonesia.

Nur kemudian merancang berbagai produk fesyen dari kain batik karyanya seperti vest (rompi atau pakaian tanpa lengan) reversibel alias bolak-balik dan outer (luaran baju) berlengan.

Apabila ada sisa kain, dia kreasikan menjadi aksesoris seperti gantungan kunci, dompet sehingga tak ada kain yang terbuang.

Batik Betawi sebenarnya identik dengan warna-warna cerah, yang merupakan ciri khas batik pesisiran yang tumbuh di wilayah pesisir atau pantai utara Jawa seperti Pekalongan, Cirebon, Lasem, Tuban, dan Madura. Motif batik pun pun biasanya bebas, natural, dan sering bergambar flora dan fauna.

Walau begitu, tak ada larangan keluar dari ciri tersebut. Saat ini, batik Betawi karya Nur mengikuti tren warna dan permintaan masyarakat. Karenanya, warna-warna kalem dihadirkan, begitu juga dengan variasi mode yang mengikuti selera pasar.

Ini mengamini harapan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita yang ingin desain batik bisa lebih segar dan semakin dekat dengan gaya hidup modern anak bangsa.

Kendati mengikuti selera pasar, namun Nur mempertahankan teknik batik tulis dan cap. Dia dulu sempat dibantu 10 orang. Namun setelah pandemi COVID-19 jumlah pegawainya menyusut menjadi tiga. Pengerjaan batik pun dilakukan di rumah masing-masing ketiga pegawainya.

Produk yang sudah jadi kemudian dikumpulkan di galeri yang lokasinya berada di Jalan Bahari Raya, Gandaria Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan. Busana batik karyanya dibanderol berkisar antara Rp200 ribu hingga Rp3,5 juta, bergantung pada motif dan jenis batiknya, cap atau tulis.

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |