Dosen-mahasiswa uji konstitusionalitas tunjangan pensiun anggota DPR

2 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia bersama mahasiswanya menguji konstitusionalitas tunjangan pensiun seumur hidup anggota DPR ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Dalam sidang perdana di MK, Jakarta, Senin, para pemohon menyatakan dana pensiun anggota DPR yang berasal dari APBN semestinya dapat digunakan untuk pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, termasuk peningkatan kualitas pendidikan hingga kesehatan.

"Pemberian dana pensiun dilakukan secara tidak proporsional mencederai hak konstitusional para pemohon yang melanggar konstitusi," kata salah satu pemohon, M. Farhan Kamase.

Permohonan ini dimohonkan dua dosen FH UII, Ahmad Sadzali dan Anang Zubaidy, serta lima mahasiswa bernama M. Farhan Kamase, Alvin Daun, Zidan Patra Yudistira, Rayhan Madani, M. Fajar Rizki. Permohonan itu tercatat sebagai Perkara Nomor 191/PUU-XXIII/2025.

Para pemohon mempersoalkan Pasal 12, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) huruf a, Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.

Menurut mereka, APBN harus didistribusikan secara proporsional dan memprioritaskan sektor-sektor produktif, khususnya yang menyangkut hak-hak dasar warga negara. Namun, bagi para pemohon, pasal-pasal yang diuji justru menyebabkan penyaluran APBN menjadi tidak efektif dan proporsional.

"Pengalokasian APBN terhadap dana pensiun seumur hidup lembaga tertinggi atau tinggi negara tidaklah proporsional jika dilihat dari sisi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat umum yang di dalamnya, termasuk para pemohon," ucap Alvin.

Baca juga: Akademikus: Uang pensiun seumur hidup bagi anggota DPR berlebihan

Mereka menyebut tunjangan pensiun seumur hidup bagi lembaga tertinggi atau tinggi negara tidak sejalan dengan prinsip utilitarianisme atau kemanfaatan karena hanya mementingkan kepentingan segelintir orang yang pada umumnya telah berkecukupan.

Dalam permohonannya, para pemohon menyoroti penghasilan bulanan anggota DPR. Jika dirata-ratakan, menurut mereka, besaran uang yang diterima per bulannya hampir 42 kali lipat upah minimum regional Jakarta.

"Dengan begitu banyaknya penghasilan yang didapatkan oleh DPR RI selama menjabat, ditambah lagi dengan dana pensiun yang diberikan, sepanjang dimaknai ‘seumur hidup’, menjadikan tidak seimbangnya antara hak individu dan kepentingan yang lebih besar, yaitu kesejahteraan masyarakat," kata Rayhan.

Dijelaskan, Pasal 16 ayat (1) huruf a mengatur bahwa pembayaran pensiun terhadap pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara, dalam hal ini DPR, dihentikan pada saat yang bersangkutan meninggal dunia.

Namun, Pasal 17 ayat (1) mengatur jika penerimanya meninggal dunia, pembayaran pensiun diberikan kepada janda atau duda yang sah dari penerima pensiun tersebut. Ketentuan ini, menurut para pemohon, menimbulkan kontradiksi yang menyebabkan ketidakpastian hukum.

Di samping itu, para pemohon juga menyoroti skema pemberian dana pensiun di Korea Selatan, Jepang, dan Singapura yang dipotong dari gaji pokok selama menjabat sebagai pimpinan ataupun anggota lembaga tertinggi/tinggi negara.

Baca juga: Waka DPR sebut akan kaji soal dana pensiun seumur hidup

Menurut para dosen dan mahasiswa hukum ini, Indonesia seharusnya juga mengadopsi mekanisme penyelenggaraan dana pensiun yang serupa dengan ketiga negara dimaksud. Terlebih, mengingat masih banyaknya sektor lain yang harus diprioritaskan oleh APBN.

Pada bagian pokok permohonan (petitum), para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU 12/1980 inkonstitusional secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang termasuk pejabat hasil pemilihan umum.

Mereka juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) huruf a, Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU 12/1980 inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa "meninggal dunia" dimaknai dengan "seumur hidup".

Dalam sesi nasihat, hakim konstitusi mempertanyakan pokok permohonan para pemohon. Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengingatkan agar petitum yang diajukan tidak kontradiktif dengan alasan permohonan (posita).

"Satu sisi Anda tidak suka kalau itu (pensiun) diberikan seumur hidup, tapi di sisi lain di petitum Saudara, pengin memberi tafsir meninggal itu ditafsirkan seumur hidup. Hati-hati ini bisa masuk kategori permohonan yang kabur," ucap Guntur.

Sesuai hukum acara di MK, para pemohon diberikan waktu selama 14 hari sejak sidang perdana digelar untuk menyempurnakan permohonannya. Berkas perbaikan permohonan untuk perkara ini diterima MK selambat-lambatnya pada Senin (10/11).

Perkara uji materi mengenai tunjangan pensiun anggota DPR sebelumnya juga diajukan oleh psikolog Lita Linggayani Gading dan mahasiswa sekaligus advokat Syamsul Jahidin dalam Perkara Nomor 176/PUU-XXIII/2025.

Keduanya menguji Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf f, dan Pasal 12 ayat (1) UU 12/1980. Menurut mereka, ketentuan-ketentuan itu menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan hukum karena memungkinkan anggota DPR yang hanya menjabat lima tahun memperoleh pensiun seumur hidup dan bahkan bisa diwariskan.

Melalui permohonan tersebut, Lita dan Syamsul meminta MK mencabut ketentuan dalam UU 12/1980 yang memberikan hak pensiun seumur hidup kepada anggota DPR.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |