DPR sepakati tambah penerimaan lewat bea keluar emas dan batu bara

2 months ago 24

Jakarta (ANTARA) - Pemerintah bersama Komisi XI DPR RI menyepakati perluasan basis penerimaan negara melalui pengenaan bea keluar terhadap produk emas dan batu bara.

Kebijakan ini menjadi bagian dari strategi optimalisasi penerimaan negara yang dibahas dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy, dan Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar di Jakarta, Senin.

"Perluasan basis penerimaan bea keluar, di antaranya terhadap produk emas dan batu bara di mana pengaturan teknisnya mengacu pada peraturan Kementerian ESDM," kata Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun saat raker.

Sekarang ini, produk emas mentah atau dore bullion sudah dikenai bea keluar sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 38/2024.

Namun, emas batangan dan perhiasan belum termasuk dalam objek tersebut.

Sementara, batu bara tak lagi dikenai bea keluar sejak 2006 dan hanya dikenakan royalti sebagai bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Wakil Ketua Komisi XI DPR Fauzi H Amro menjelaskan bahwa untuk besaran tarif bea keluar nantinya akan diusulkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada Kementerian Keuangan untuk diterbitkan dalam bentuk PMK.

"Harapan kita (bea keluar) sebagai penerimaan negara yang baru itu akan naik. Jadi kita memang ingin mempertegas bahwa tarifnya ditentukan oleh Kementerian ESDM. Lewat ESDM nanti ke PMK," jelas Fauzi.

Selain bea keluar emas dan batu bara, DPR juga mendorong pemerintah memperluas basis penerimaan negara melalui ekstensifikasi barang kena cukai baru.

Salah satu yang menjadi perhatian adalah rencana pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).

Fauzi menjelaskan target penerimaan dari cukai MBDK diperkirakan dapat mencapai Rp5-6 triliun, dengan pengenaan terhadap produk berkadar gula di atas 6 persen dan sudah memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Namun, ia menekankan pentingnya sosialisasi agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan polemik di masyarakat.

Waktu implementasi kebijakan ini bergantung pada kesiapan pemerintah. Bisa diterapkan pada semester II 2025 atau mulai 2026 sebagai bagian dari asumsi penerimaan negara dalam RAPBN.

"Kalau asumsi, ini kan digunakan (diterapkan) untuk tahun depan. Nah, sekarang kan pemerintah menunda. Bisa juga pemerintah melakukan percepatan, tapi kan butuh sosialisasi," tuturnya.

Baca juga: BI sepakat asumsi Rupiah pada APBN 2026 sebesar Rp16.500-Rp16.900

Baca juga: DPR-Pemerintah sepakat asumsi makro 2026 sesuai rancangan KEM-PPKF

Baca juga: Ketua DPR ungkap masa sidang ini mulai bahas RAPBN 2026

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |