Definisi “anak nakal” dan pembinaan di barak militer

5 hours ago 3

Jakarta (ANTARA) - Silang pendapat seputar ide Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (Demul), masih berlangsung hingga saat ini.

Ide mengirim anak-anak yang dianggap “nakal” ke barak militer memantik kontroversi yang cukup tajam. Banyak pihak menilai pendekatan ini menghilangkan fungsi pendidikan sesungguhnya dan menggantikannya dengan metode militeristik yang kaku.

Anak tidak mungkin dibentuk karakternya hanya dalam waktu dua minggu, seperti yang terjadi di Kabupaten Purwakarta. Apalagi, fisik dan kedisiplinan yang diajarkan di barak militer tidak mencakup wawasan kebangsaan, kewiraan, atau bela negara secara menyeluruh.

Masalah mata pelajaran akademik pun sama sekali tidak disinggung dalam program tersebut. Hal ini berkaitan dengan bobot materi yang tidak berimbang; kemampuan motorik siswa tidak dipersiapkan sebagai pembekalan menyeluruh bagi mereka.

Kita harus mengingat ajaran Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa, yang lebih menekankan unsur humanisme dalam pendidikan nasional. Ki Hajar Dewantara menempatkan pendidik sebagai teladan, penggerak, dan pemberi ruang bagi peserta didik untuk tumbuh. Relasi yang dibangun bukan hierarkis, melainkan partisipatif.

Mengacu pada ajaran tersebut, muncul pertanyaan kenapa orang tua yang merasa gagal mendidik putera-puterinya justru menyerahkan tanggung jawab tersebut ke militer. Artinya, pendidikan tidak sepenuhnya diserahkan ke sekolah, tetapi militerlah yang dianggap mampu membentuk karakter sang anak.

Padahal, pendidikanlah yang sejatinya menghasilkan sumber daya manusia di bidang pemerintahan, birokrasi, politik, bahkan militer itu sendiri. Jadi, militer sebenarnya adalah bagian dari hilirisasi pendidikan, bukan pengganti pendidikan formal.

Tidak adil rasanya jika definisi soal anak nakal belum tuntas hingga saat ini. Mereka lebih tepat disebut sebagai anak yang “cerdas” atau anak yang energinya berlebih sehingga memerlukan penyaluran yang lebih terarah.

Anak yang kreatif dan aktif seperti ini justru perlu pendampingan atau pengarahan agar langkahnya lebih terkontrol dan produktif. Penulis merasa risih karena anak yang sering masuk Bimbingan Konseling (BK) selalu dianggap sebagai anak bermasalah atau anak nakal.

Padahal, BK juga memberi bimbingan karir yang tidak hanya mengurusi anak-anak bermasalah, melainkan juga mempersiapkan anak didik menghadapi masa depan. Anak-anak diharapkan memenuhi prinsip the right man in the right place, yakni menempatkan setiap individu sesuai dengan potensi dan minatnya.

Ramah Anak

Kak Seto, pakar pendidikan Indonesia yang sangat dihormati, mengharapkan pendidikan di barak militer tetap mengedepankan konsep ramah anak. Maksudnya, pendidikan harus mengingat usia anak-anak dan menyesuaikan dengan perkembangan psikologis mereka.

Terlebih lagi, pendidikan harus mengedepankan prinsip kesetaraan gender. Kesempatan yang sama harus diberikan kepada siswa laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi. Hal ini penting agar pendidikan tidak menjadi ajang diskriminasi atau ketidakadilan yang justru memperburuk kondisi psikologis anak.

Orang tua siswa biasanya cepat emosional saat mendengar anaknya mendapat perlakuan keras dari guru. Padahal, sikap tersebut diambil untuk mendisiplinkan siswa yang dianggap nakal.

Namun, ironisnya, mereka lebih menerima sikap keras yang dipertontonkan pihak militer kepada anak-anak mereka. Mereka menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya pada pihak militer untuk “merawat” dan membentuknya.

Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak diatur secara jelas tentang perlindungan para guru, sehingga wajar masih banyak kejadian kekerasan di beberapa daerah. Banyak orang tua murid yang protes ke sekolah karena anaknya mendapat perlakuan kekerasan oleh guru, seperti disuruh berdiri lama di depan kelas, ditempeleng, dijewer, atau disuruh memberi hormat di lapangan upacara selama berjam-jam.

Contoh nyata pendekatan pendidikan terhadap “anak nakal” di negara-negara Skandinavia dapat ditemukan di Finlandia melalui program KiVa, sebuah metode efektif untuk mencegah dan mengatasi perundungan di sekolah.

KiVa mengedepankan intervensi dan pencegahan dengan melibatkan guru terlatih, pengaduan anonim, serta pembelajaran empati dan pengelolaan emosi bagi siswa. Program ini berhasil mengurangi kasus perundungan hingga 40 persen dan menumbuhkan lingkungan sekolah yang inklusif dan suportif bagi semua anak, termasuk yang berperilaku sulit.

Selain itu, Swedia dan Norwegia menerapkan sistem keadilan restoratif yang fokus pada pendidikan dan pemulihan moral anak nakal melalui dialog dan keterlibatan masyarakat, bukan hukuman pidana yang keras. Model ini menunjukkan bahwa pendekatan yang humanis dan edukatif jauh lebih efektif dibandingkan hukuman fisik atau isolasi.

Agenda ke Depan

Agar muatan pembelajaran tidak berlebihan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dikdasmen) perlu melakukan re-desain kurikulum, terutama kurikulum yang membuat anak didik terspesialisasi pada bidangnya.

Diharapkan lulusan lebih menguasai bidangnya secara mendalam daripada mengetahui banyak hal secara dangkal. Jadi, mereka tidak hanya menguasai ilmu secara umum, tetapi memiliki keahlian khusus yang dapat menunjang karier dan kontribusi mereka di masa depan.

Oleh karena itu, penulis kurang setuju dengan istilah “anak nakal.” Biarkanlah anak yang kurang betah di bidang akademik lebih mendalami kegiatan praktis yang menggali potensinya secara optimal. Diharapkan mereka lebih bersuka cita dan menikmati proses belajar.

Setiap anak tidak bisa diharapkan pintar di segala bidang. Ada yang unggul di bidang akademis, penelitian, atau pendidikan formal. Ada pula yang ahli di bidang keterampilan atau praktis sesuai bakat dan kemampuannya.

Mengingat hal ini, sekolah tidak lagi bisa memaksakan anak didiknya untuk unggul di semua bidang. Kita tidak bisa memprediksi masa depan anak jika tidak mengetahui passion dan minatnya saat ini.

Hal ini akan memudahkan anak memilih bidang studi yang sesuai dan memaksimalkan potensi mereka. Jangan sampai anak pintar hanya memiliki kemampuan kompetitif, tetapi tidak mengasah kemampuan bersosialisasi, kerja sama kelompok, public speaking, atau problem solving.

Pendidikan ala militer boleh diterapkan, tapi tetap perlu didampingi dengan materi pembelajaran yang mengasah kemampuan motorik dan intelektual siswa.

Pada aspek kedisiplinan, pihak militer memang bisa diacungi jempol, tapi harus dilengkapi dengan pengetahuan dan kemampuan kompetitif. Anak didik tidak boleh menganggap kegiatan ala militer sebagai pelarian dari aktivitas sekolah. Pelajaran sekolah harus tetap mereka dapatkan selama pendidikan di barak militer.

Anggap saja ini sesi pendidikan di alam terbuka yang penuh keceriaan, sambil tetap mendapatkan materi pelajaran sekolah yang esensial.

*) Yayan Sakti Suryandaru adalah Dosen Departemen Komunikasi, FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |