Agar keracunan Makanan Bergizi Gratis tidak berulang

1 hour ago 1
faktor seperti jarak distribusi yang terlalu jauh, sarana pengangkutan tanpa pengatur suhu, serta jumlah porsi masak yang sangat besar berkontribusi terhadap penurunan kualitas makanan.

Jakarta (ANTARA) - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menjadi bahan pembahasan di ruang publik, menyusul merebaknya laporan kasus keracunan makanan di beberapa daerah

Memasuki September, sedikitnya ada 14 kasus keracunan dilaporkan dari berbagai daerah. Terbaru, pada Rabu (24/9) di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat lebih dari 1.000 orang menjadi korban keracunan seusai mengonsumsi MBG. Kejadian tersebut menjadi salah satu kasus yang terbesar selama program MBG berlangsung.

Ternyata, yang menjadi penyebab utama sebagai pemicu kasus keracunan makanan adalah hidangan yang diberikan kepada siswa-siswi itu tidak lagi layak konsumsi, berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium Kesehatan.

Temuan tersebut menguatkan dugaan bahwa proses pengolahan hingga distribusi menu MBG yang pelaksanaan dimulai pada Januari 2025 itu, masih menghadapi berbagai kendala.

Seorang ahli gizi, Mochammad Rizal, kepada ANTARA menjelaskan bahwa faktor seperti jarak distribusi yang terlalu jauh, sarana pengangkutan tanpa pengatur suhu, serta jumlah porsi masak yang sangat besar berkontribusi terhadap penurunan kualitas makanan.

Sejumlah murid menikmati makan bergizi gratis (MBG) di SDN 35 Padang Sarai, Koto Tangah, Padang, Sumatera Barat, Selasa (23/9/2025). Kementerian Keuangan mencatat, hingga 8 September 2025 telah menyalurkan anggaran sebesar Rp13 triliun untuk mendanai program MBG bagi 22,7 juta penerima di seluruh Indonesia, realisasi itu setara 18,3 persen dari pagu APBN 2025 yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp71 triliun. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/nz (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)

Menurut Rizal, yang kini tengah menempuh studi S3 Ilmu Gizi Internasional di Cornell University, New York, Amerika Serikat, menjaga kualitas makanan bagi anak-anak tidak bisa dianggap sepele. Waktu antara makanan matang hingga sampai di tangan siswa tidak boleh terlalu panjang, sebab berpotensi menurunkan mutu makanan. Makanan yang terlalu lama disimpan berisiko cepat basi atau terpapar bakteri. Kondisi ini kerap terjadi karena jarak dapur ke sekolah terlalu jauh, sementara kendaraan pengangkut belum memiliki fasilitas pengatur suhu. Akibatnya, makanan yang sampai ke meja siswa tidak selalu dalam kondisi terbaik atau rentan terkontaminasi bakteri selama perjalanan.

“Jika makanan panas langsung ditutup, risikonya cepat basi. Namun bila dibiarkan terlalu lama dalam kondisi terbuka, potensi bakteri dan virus menempel juga semakin besar,” kata Rizal.

Situasi inilah yang menurutnya menuntut adanya sistem yang lebih rapi, tidak hanya mengandalkan tenaga di dapur, tetapi juga menyangkut koordinasi antarbagian, mulai dari proses memasak, distribusi, hingga pengawasan mutu. Tanpa tata kelola yang jelas, risiko penurunan kualitas makanan akan terus berulang.

Baca juga: Soal keracunan MBG, Prabowo: Ini masalah besar, kita atasi dengan baik

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |