Gaza (ANTARA) - Rasa takut dan ketidakpastian yang meluas mencengkeram sekitar satu juta penduduk Gaza City, yang menghadapi rencana serangan militer Israel yang diyakini akan memaksa mereka pergi ke selatan, wilayah yang sudah dipenuhi pengungsi.
Tentara Israel, yang telah mengepung Gaza City selama sekitar dua pekan dengan serangan udara dan artileri besar-besaran, mengatakan pihaknya sedang mempersiapkan operasi untuk menguasai kota itu.
Pada Rabu (27/8), tentara Israel merilis pernyataan yang mendesak penduduk untuk mengungsi ke selatan, mengeklaim bahwa masih ada banyak daerah kosong di kamp-kamp al-Mawasi dan pusat, yang menurut mereka sedang dipersiapkan dengan tenda-tenda, saluran pipa air, dan pusat-pusat bantuan.
Bagi penduduk kota itu, yang sudah kelelahan akibat perang selama hampir dua tahun dan harus berulang kali mengungsi, jaminan ini terdengar tak berarti.
Warda Ghaben (45) telah mengungsi dari Beit Lahia di Gaza utara ke Rafah di Gaza selatan, lalu ke Deir al-Balah di Gaza tengah, dan akhirnya ke Gaza City. Wanita Palestina itu menyebut operasi yang akan segera dilancarkan itu sebagai "bencana baru".
"Ketakutan dan kecemasan menyebar luas di antara seluruh penduduk kota ini, karena Gaza menjadi tempat perlindungan terakhir bagi mereka yang kelelahan karena mengungsi dan tidak lagi memiliki energi untuk pindah lagi," ujarnya kepada Xinhua.
"Masuknya tentara Israel, yang kini mengepung kota ini, sungguh mengerikan karena itu berarti kehancuran, pembunuhan, dan mengungsi lagi," ujarnya, seraya menambahkan bahwa dia tidak tahu harus ke mana jika terjadi serangan di kota yang sudah "penuh sesak dengan tenda dan pengungsi."
Ismail Saba (42), seorang ayah dua anak dari Gaza barat, mengatakan kepada Xinhua bahwa "penduduk kota ini hidup dalam kebingungan, tidak tahu apakah harus bersiap untuk evakuasi atau menunggu kesepakatan politik untuk menghentikan perang."
Pindah ke selatan bukan lagi pilihan yang layak karena kepadatan penduduk yang parah, katanya, seraya menambahkan bahwa "yang dibutuhkan adalah gencatan senjata komprehensif, bukan kembali mengungsi."
Alaa Abu Hashem (29) mengatakan kepada Xinhua bahwa keluarganya telah mengungsi sebanyak dua kali, dari Jabalia dan Gaza City bagian barat.
"Kami selalu mendengar bahwa wilayah selatan adalah tempat teraman, tetapi nyatanya Rafah, Khan Younis, dan Deir al-Balah tidak lagi mampu menampung siapa pun. Orang-orang berdesakan. Tidak ada cukup rumah atau tenda," ujarnya.
"Jika mereka menyerang Gaza City, kami tidak tahu harus ke mana. Kami merasa terjebak oleh rasa takut dan cemas, hidup di antara langit yang menjatuhkan bom dan tanah yang tidak cukup luas untuk kami," ujarnya.
Awni Muammar (65), pengungsi dari lingkungan Shuja'iyya di Gaza City timur, mengatakan dia lebih memilih kembali ke rumahnya yang hancur daripada pindah lebih jauh ke selatan.
"Para pengungsi ingin kembali ke rumah mereka, alih-alih dipaksa pergi ke tempat-tempat yang nasibnya tidak kita ketahui. Dua tahun perang sudah cukup. Kami ingin hidup dengan damai dan aman," ujarnya kepada Xinhua.

Rencana serangan tersebut, yang menuai kecaman keras dari dunia, muncul di tengah upaya mediasi yang sedang dilakukan Mesir dan Qatar guna menyelesaikan konflik. Pada Minggu (24/8), Hamas menyatakan telah menyetujui proposal yang diajukan oleh kedua mediator sepekan yang lalu, menyetujui kesepakatan pertukaran tahanan parsial dengan Israel dan siap untuk kesepakatan gencatan senjata komprehensif. Namun, Israel belum menanggapi proposal tersebut
Sementara itu, serangan udara dan penembakan Israel terus berlanjut pada Kamis (28/8), dengan sumber-sumber lokal melaporkan penghancuran rumah di lingkungan Zeitoun dan Sabra di Gaza City selatan, serta beberapa area di Jabalia di wilayah utara.
Juru bicara Pertahanan Sipil Mahmoud Basal mengatakan kepada Xinhua bahwa sedikitnya 20 warga Palestina tewas dalam serangan dini hari di Gaza.
Dalam informasi terbaru pada Kamis, otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza mengatakan bahwa serangan Israel di Gaza menewaskan sedikitnya 71 orang, termasuk 22 pekerja bantuan, dan melukai 339 orang, termasuk 203 pekerja bantuan, dalam 24 jam terakhir.
Sejak 7 Oktober 2023, kampanye militer Israel yang sedang berlangsung di Gaza telah mengakibatkan 62.966 orang tewas dan 159.266 lainnya luka-luka, kata pihak otoritas, seraya menambahkan bahwa kelaparan dan malanutrisi di Gaza telah mengakibatkan 317 kematian, termasuk 121 anak-anak.
Penerjemah: Xinhua
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.