Jakarta (ANTARA) - Tidak membayar utang secara sengaja meskipun mampu dipandang sebagai kezaliman dan dosa besar dalam Islam. Perbuatan ini bisa menghalangi pelakunya dari rahmat Allah di akhirat karena utang adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan.
Lalu, bagaimana hukum Islam memandang utang yang tak dilunasi padahal mampu? Rasulullah SAW menyebut bahwa menunda pembayaran utang tanpa alasan adalah bentuk kezaliman, bahkan bisa menjadi sebab kebinasaan di akhirat.
Hukum sengaja tidak membayar utang
Dalam Islam, utang dipandang sebagai sebuah amanah yang wajib diselesaikan. Utang bukan sekadar urusan duniawi, tetapi juga memiliki konsekuensi akhirat. Seseorang yang berutang memiliki kewajiban moral dan spiritual untuk melunasinya tepat waktu.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa siapa pun yang berutang dengan niat tidak membayarnya, maka kelak di akhirat akan diperhadapkan sebagai pencuri. Ini menunjukkan betapa beratnya dosa orang yang sengaja mengabaikan kewajiban membayar utang, terutama jika sejak awal tidak berniat melunasinya.
Selain itu, Islam juga mengecam keras tindakan menunda pembayaran utang padahal mampu. Nabi bersabda, “Menunda pembayaran utang oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman.” Penundaan semacam ini dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang merugikan pihak pemberi utang dan mencerminkan penyalahgunaan amanah.
Islam mengajarkan bahwa utang tidak hanya terkait urusan dunia, tetapi juga hisab akhirat. Mereka yang meninggal dunia tanpa melunasi utang, akan “terkatung-katung” ruhnya tertahan hingga utangnya dibayar. Bahkan hadits menyatakan:
“Jika seseorang terbunuh di jalan Allah dan mati syahid, tetapi masih punya utang, dia tidak akan masuk surga hingga utangnya terlunasi”.
Lebih lanjut, orang yang sengaja berniat tidak membayar akan dihadapkan sebagai pencuri di hadapan Allah di akhirat kelak.
Baca juga: Pandangan Islam terkait orang yang tidak membayar utang
Hukuman dan sanksi dalam perspektif ulama
Mayoritas ulama menetapkan bahwa orang mampu namun sengaja menunda membayar utang boleh dikenakan sanksi atau hukuman baik berupa sosial, moral, hingga penjara oleh otoritas. Hadits menjelaskan:
“Menunda‑nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
Selain itu, dalam praktik lembaga keuangan syariah, fatwa Dewan Syariah Nasional mempersilakan pemberian denda (ta’zir) terhadap nasabah yang mampu tetapi dengan sengaja menunda bayar.
Islam bukan lalai terhadap kesulitan orang yang berutang. Al Quran memerintahkan agar jika debitur dalam kesulitan, maka kreditur hendaknya memberikan tenggang waktu, bahkan memaafkan utangnya secara penuh, karena hal ini lebih baik bagi pemberi utang. Namun bila debitur mampu, lalu menunda secara sengaja tanpa alasan, maka ia melanggar prinsip moral dan syariat.
Dengan demikian, syariat Islam menempatkan pelunasan utang sebagai kewajiban moral dan spiritual. Sengaja menunda atau tidak berniat melunasi utang saat mampu merupakan perbuatan haram dan zalim yang dapat menjauhkan seseorang dari keberkahan akhirat.
Bahkan, ulama membolehkan pemberian sanksi kepada peminjam yang sengaja berdalih atau menghindar dari kewajiban. Namun, Islam juga mendorong sikap belas kasih terhadap mereka yang benar-benar tidak mampu membayar.
Dalam kondisi seperti ini, pemberi utang dianjurkan untuk memberi kelonggaran atau bahkan mengikhlaskan, jika memungkinkan. Intinya, selesaikan tanggung jawab utang dengan jujur dan konsisten, karena hal ini merupakan bagian dari prinsip amanah yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam.
Baca juga: Hukum utang piutang dalam perspektif Islam
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.