Surabaya (ANTARA) - Isu pemberian konsesi tambang kepada organisasi keagamaan telah membuka ruang perdebatan yang jauh lebih luas daripada sekadar soal ekonomi, lingkungan, atau kepatuhan regulasi.
Di tubuh Nahdlatul Ulama (NU), isu ini memantik pertanyaan yang lebih mendasar, yaitu bagaimana keputusan strategis dilegitimasi secara keagamaan, siapa yang berhak menafsirkannya, dan dalam ruang kuasa seperti apa tafsir itu bekerja.
Perdebatan ini tidak berdiri di ruang hampa. Ia bersinggungan langsung dengan struktur kekuasaan internal NU, terutama relasi antara otoritas normatif keilmuan dan otoritas eksekutif organisatoris.
Dalam konteks mutakhir, relasi ini menjadi semakin terlihat ketika isu tambang diproduksi sebagai kebijakan strategis organisasi, namun dipersepsikan oleh sebagian kalangan sebagai keputusan yang lahir dari ruang deliberasi yang terbatas.
Secara struktural, NU mengenal pembagian otoritas yang khas. Di satu sisi terdapat rais aam sebagai penjaga otoritas normatif dan keilmuan tertinggi. Di sisi lain terdapat ketua umum tanfidziyah yang menjalankan fungsi eksekutif dan representasi organisasi ke ruang negara, politik, dan kebijakan publik.
Dalam dinamika kontemporer, ketegangan antara dua ranah ini tidak selalu tampil sebagai konflik terbuka, tetapi bekerja secara diskursif melalui bahasa, legitimasi, dan simbol otoritas.
Sebagai Rais Aam PBNU, KH Miftahul Akhyar merepresentasikan otoritas moral dan kehati-hatian etik yang secara historis menjadi rujukan warga NU. Posisi rais aam, selama ini dipahami sebagai penjaga norma, nilai, dan batas-batas kepantasan keagamaan. Sementara itu, sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, Yahya Cholil Staquf memimpin organ eksekutif yang berhadapan langsung dengan realitas negara, relasi kekuasaan, dan logika kebijakan publik.
Polemik mulai terasa ketika isu tambang diproduksi, terutama melalui jalur eksekutif organisasi. Sejumlah pihak membaca bahwa proses pengambilan keputusan lebih menonjolkan rasionalitas strategis, seperti soal peluang, akses, dan kemanfaatan, daripada membuka ruang deliberasi normatif yang luas di tingkat keulamaan.
Di titik inilah muncul ketegangan tafsir bahwa bukan semata soal setuju atau tidak setuju terhadap tambang, melainkan tentang siapa yang berhak mendefinisikan kemaslahatan, dan melalui mekanisme apa keputusan itu memperoleh legitimasi keagamaan.
Struktur Pengurus Besar Nahdlatul Ulama memainkan peran sentral dalam dinamika ini. PBNU bukan hanya lembaga administratif, melainkan produsen wacana resmi organisasi. Ketika sebuah keputusan dilekatkan pada nama PBNU, ia segera memperoleh bobot simbolik yang besar.
Bahasa agama, seperti tentang maslahat, kepentingan umat, atau stabilitas nasional, berfungsi sebagai perangkat legitimasi yang efektif. Di sinilah pengetahuan bekerja sebagai kuasa, di mana ia menenangkan resistensi, membatasi ruang kritik, dan mengarahkan cara publik membaca kebijakan.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































