Jakarta (ANTARA) - Merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tidak cukup hanya dengan menanam pohon atau menggelar seremonial tahunan.
Oleh karena itu, isu sustainability alias keberlanjutan kini berada di titik balik yang menandai pergeseran dari teori ke aksi konkret.
Sebab dunia sedang menghadapi krisis iklim, degradasi biodiversitas, dan tekanan pembangunan yang tidak jarang mengorbankan masa depan ekologis makhluk hidup.
Maka, seminar bertajuk Sustainability Talk: Mengakselerasi Implementasi Sustainability Sinergi untuk Masa Depan Indonesia yang diselenggarakan Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI) dan Emil Salim Institute (ESI) menjelang pertengahan Juni 2025, bukan hanya relevan, tetapi juga menjadi semacam seruan moral dan intelektual untuk memperkuat sinergi lintas sektor.
Dalam konteks Indonesia, pembangunan berkelanjutan bukan lagi sekadar jargon. Ini adalah keharusan konstitusional, sebagaimana diingatkan Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno.
Dalam pidato kuncinya, ia menyitir Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 yang menjamin hak rakyat atas lingkungan hidup yang sehat, serta Pasal 33 yang meletakkan dasar pembangunan ekonomi pada prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Penegasan ini menunjukkan bahwa isu lingkungan bukan hanya domain akademisi atau aktivis, tetapi menjadi tugas konstitusional para pengambil kebijakan.
Ini juga mengirimkan sinyal penting bahwa lembaga tinggi negara seperti MPR tak akan tinggal diam dalam menghadapi ancaman ekologis.
Eddy Soeparno menggarisbawahi dilema klasik pembangunan Indonesia bahwa mengejar pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi dan ekstraksi sumber daya alam, sembari dituntut mempercepat transisi energi bersih dan menjaga ketahanan ekologis.
Ketegangan ini nyata, seperti yang tergambar dalam polemik tambang nikel di kawasan Geopark Raja Ampat. Namun, langkah Presiden Prabowo Subianto yang mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan karena tidak memiliki rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) menunjukkan keberpihakan negara terhadap kelestarian lingkungan.
Apresiasi juga diberikan kepada Pemerintah yang langsung memastikan penegakan hukum. Ini bukan hanya kebijakan teknokratis, tetapi juga sinyal politik yang mengakui bahwa kelestarian tidak dapat dikompromikan atas nama investasi.
Kolaborasi
Namun, keberlanjutan tidak mungkin dicapai oleh pemerintah saja. Seperti disampaikan Presiden Emil Salim Institute, E Kuniawan Padma, tantangan keberlanjutan bersifat kompleks, saling terkait, dan lintas sektor.
Artinya, kolaborasi adalah keniscayaan. Kolaborasi bukan hanya strategi, tetapi syarat utama untuk keberhasilan implementasi prinsip-prinsip keberlanjutan.
Ketika berbicara tentang perubahan iklim ada krisis air, degradasi tanah, polusi udara, dan ketimpangan sosial yang semuanya berkelindan. Maka, sinergi antara akademisi, pembuat kebijakan, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus menjadi norma baru.
SIL UI dan ESI dalam seminar ini tidak hanya menghadirkan gagasan, tetapi juga meluncurkan inisiatif kolaboratif yakni program pendidikan dan pengabdian masyarakat yang menyoroti transisi energi bersih, circular economy, konservasi keanekaragaman hayati, dan penguatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi krisis iklim.
Program-program ini penting, bukan hanya karena mereka menjawab kebutuhan teknis, tetapi karena mereka membangun kesadaran kolektif dan kapasitas sosial untuk mentransformasikan sistem.
Prof Dr Supriatna, Dekan SIL UI, menekankan bahwa momentum Hari Lingkungan Hidup dan Dies Natalis ke-9 SIL UI merupakan panggilan untuk mempercepat aksi nyata.
Ia menyatakan bahwa sustainability hanya bisa dicapai jika semua pihak bersinergi dan bertindak bersama. Ini adalah pesan yang sederhana, tetapi mendalam.
Bangsa ini sudah terlalu lama mengandalkan pendekatan sektoral dalam menangani isu lingkungan. Padahal, degradasi lingkungan tidak mengenal batas institusi.
Di sinilah peran perguruan tinggi menjadi strategis. SIL UI, sebagai lembaga pascasarjana yang mempelajari isu lingkungan secara multidisipliner, memiliki posisi unik untuk menjadi katalis perubahan.
Dengan riset-riset unggulan dan pendekatan yang menggabungkan sains, sosial, dan kebijakan, SIL UI tidak hanya menghasilkan pengetahuan, tetapi juga kebijakan berbasis bukti dan praktik lapangan yang inklusif.
Perguruan tinggi harus menjadi inkubator solusi, bukan menara gading yang menjauh dari realitas sosial-ekologis bangsa.
Keharusan moral
Dalam skala global, dunia kini berlomba mencapai target Net Zero Emissions dan implementasi Sustainable Development Goals (SDGs).
Indonesia pun telah berkomitmen melalui dokumen NDC (Nationally Determined Contributions) yang diperbarui, namun komitmen ini hanya akan menjadi dokumen mati bila tidak ditopang oleh kapasitas nasional yang kuat dan kemauan politik yang konsisten.
Karena itu, forum seperti Sustainability Talk tidak hanya penting sebagai forum diskusi, tetapi sebagai ruang pertemuan gagasan dan tindakan nyata.
Sebagaimana tokoh lingkungan hidup Emil Salim selalu tegaskan, keberlanjutan bukanlah pilihan, tetapi keharusan moral. Tidak ada pertumbuhan ekonomi yang bernilai jika dibangun di atas kehancuran ekologi.
Tidak ada pembangunan yang bisa disebut maju jika mengorbankan generasi mendatang. Maka, negeri ini tidak bisa lagi memisahkan antara ekonomi dan lingkungan, antara pembangunan dan keadilan ekologi. Keduanya harus berjalan serempak.
Sustainability juga harus dibumikan dalam bahasa dan kebijakan yang bisa dipahami publik. Banyak yang sering terjebak dalam istilah-istilah teknokratis seperti decarbonization, mitigation, atau climate resilience, tanpa menjelaskan implikasinya terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat.
Padahal, isu keberlanjutan menyangkut bagaimana petani bisa tetap menanam meski iklim tak menentu, bagaimana nelayan bisa melaut meski lautnya rusak, bagaimana warga kota bisa menghirup udara bersih tanpa harus membeli tabung oksigen di masa depan.
Karena itu, komunikasi publik juga menjadi elemen penting dalam keberhasilan transisi menuju masa depan yang berkelanjutan.
Tantangan di depan mata tidak kecil. Namun, sebagaimana semangat kolaboratif yang digaungkan dalam forum ini, semua bisa menyadari bahwa perubahan besar dimulai dari langkah kolektif yang kecil.
SIL UI, ESI, dan para pemangku kepentingan yang hadir telah menunjukkan bahwa membangun masa depan Indonesia yang hijau dan adil bukanlah utopia. Ini adalah tujuan yang bisa dan harus diperjuangkan bersama, mulai hari ini.
Copyright © ANTARA 2025