Jakarta (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan perlu ada pembenahan sistem politik agar sistemnya menjadi inklusi bagi semua perempuan politik.
"Seharusnya, sistem politik dibenahi dengan serius agar bukan hanya perempuan dengan relasi dinasti atau kekuatan modal besar yang bisa maju caleg dan memenangkan kursi," kata pengajar Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Hal ini dikatakannya menanggapi pernyataan Ketua DPR RI Puan Maharani dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI Tahun 2025 di Kompleks Parlemen, Jakarta, yang mengungkapkan keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2024–2029 menjadi pencapaian yang tertinggi sepanjang sejarah.
Pembenahan sistem politik harus dilakukan, karena menurut dia sistem politik yang mahal dan transaksional membuat akses pencalonan menjadi tidak inklusif bagi semua perempuan politik.
"Hanya mereka yang memiliki modal besar dan punya kedekatan dengan elite yang bisa mengakses pencalonan dengan mudah," kata Titi Anggraini.
Pihaknya mengatakan diperlukan komitmen yang lebih besar dari negara untuk bukan hanya berorientasi pada angka keterwakilan yang makin baik, tapi juga berfokus pada kualitas representasi yang lebih bermakna dan kredibel.
Titi Anggraini mengatakan keterwakilan perempuan memang meningkat dari sisi keterpilihan sebagai anggota DPR. Namun, masih jauh dari target minimal 30 persen sebagaimana diharapkan.
"Apalagi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, jumlah keterpilihannya juga jauh lebih rendah daripada capaian di tingkat nasional. Bahkan masih kurang dari 20 persen," katanya.
Pihaknya berpendapat komitmen partai masih belum kuat dalam mendorong keterwakilan perempuan di parlemen.
"Contohnya saja di Pemilu Serentak 2024, masih banyak daerah pemilihan yang pencalonan perempuan oleh partai masih kurang dari angka minimal 30 persen," kata Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini.
Hal itu, menurut dia, tidak lepas dari pembiaran partai atas kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melemahkan afirmasi keterwakilan perempuan karena menerapkan rumus pembulatan ke bawah dalam menghitung persentase kuota minimal 30 persen perempuan dalam daftar caleg.
Baca juga: HUT RI, KemenPPPA gaungkan makna kemerdekaan bagi perempuan & anak
Baca juga: Kemerdekaan perempuan dan pentingnya pemberdayaan berkelanjutan
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.