Jakarta (ANTARA) - Anggota Badan Legislasi DPR RI I Nyoman Parta mengusulkan, operasional Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dibiayai oleh negara.
Dalam rapat dengar pendapat umum Badan Legislasi DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, dia mengemukakan bahwa pembentukan LMKN diamanatkan oleh undang-undang, karenanya negara seharusnya mendukung pengoperasian lembaga tersebut.
"Saya pikir ini harus dibiayai seperti komisioner yang lain, yang memang negara menugaskan, membuat lembaga, mengangkat orang, jadi biayanya juga harus disiapkan oleh negara, sehingga auditnya jadi jelas," kata Nyoman.
LMKN merupakan lembaga bantu pemerintah non-APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Sesuai ketentuan, lembaga ini mengambil 8 persen dari seluruh royalti atas karya berhak cipta yang dikumpulkan setiap tahun untuk membiayai kegiatan operasionalnya.
Selain mengusulkan skema pendanaan operasional LMKN, Nyoman menyampaikan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta semestinya mencakup pengaturan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) agar pengumpulan royalti berjalan lebih efektif.
Dia juga mengemukakan perlunya kejelasan ketentuan mengenai perjanjian antara pihak seperti pencipta, penyanyi, dan pengguna karya berhak cipta mengenai pembayaran royalti.
"Kalau dia event organizer jelas (diatur pembayaran royaltinya), promotor jelas, tapi kapan individu dikatakan sebagai pengguna komersial, barangkali ini yang harus dijelaskan," ujar Nyoman.
Baca juga: LMKN salurkan Rp2,5 miliar royalti semester 1 tahun 2025 ke LMK RAI
Komisioner LMKN Ahmad Ali Fahmi menjelaskan, sumber dan besaran dana operasional LMKN diatur dalam Peraturan Menteri Hukum Nomor 27 tahun 2025 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Peraturan tersebut menggantikan peraturan sebelumnya yang menetapkan LMKN bisa menggunakan maksimal 20 persen dari royalti yang terkumpul untuk biaya operasional.
"Menteri Hukum menggarisbawahi, 20 persen tadi hanya bisa digunakan 8 persen saja. Jadi 12 persennya dikembalikan kepada (pemegang) hak cipta," kata Ahmad.
Berdasarkan peraturan yang baru, ia mengatakan, rasio penerimaan royalti pemegang hak cipta bisa lebih besar.
"Sehingga periode 2025 semestinya rasio penerimaan royalti pemegang hak cipta itu jauh lebih besar," katanya.
"Artinya (pada aturan lama) kalau ada pengoleksian (royalti) Rp70 miliar paling yang bisa didistribusikan sekitar Rp40an miliar. Tapi, kalau besok kita memperoleh Rp10 miliar maka Rp9,2 miliarnya pasti kita bisa distribusikan," ia menjelaskan.
Baca juga: WaMI serahkan dana royalti Rp64 miliar untuk diverifikasi LMKN
Baca juga: PAPPRI minta revisi UU Hak Cipta mencakup karya musik buatan AI
Pewarta: Farhan Arda Nugraha
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































